Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus Partai Gelora Yadi Surya Diputra memendam kemarahan atas anggaran untuk penyelenggaraan pemilu yang angkanya fantastis mencapai ratusan triliun gabungan KPU dan Bawaslu.
Yadi menyayangkan anggaran tersebut digunakan cukup besar untuk mengoptimalkan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Namun, aplikasi yang diharapkan sebagai bentuk kemajuan mengawal suara rakyat itu tidak berjalan sempurna.
"Saya kira Sirekap ini ide dari pengembangan Situng (Sistem Informasi Penghitungan) manual saat itu, yang manual kok lebih jago nggak ada deviasi yang cukup signifikan. Dan kita bisa mengadili diri kita dihadapan Situng saat itu," ucap Yadi dalam podcast bertajuk Utak-Atik Perolehan Suara Parpol dan Caleg Hasil Pemungutan Suara Pemilu 2024 di Kantor Tribun Network, Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora itu juga kecewa penyelenggara pemilu yang terlalu fokus terhadap Pilpres.
Baca juga: TKN Sindir Kubu Ganjar dan Anies Ingin Ajukan Sengketa Pemilu ke MK: Hargai dong Saksi-saksi Kalian
Dalam konteks sosialisasi, Partai Gelora yang ditetapkan sebagai parpol pada Februari 2023 tidak diperkenalkan kepada publik hingga dimulai kampanye pemilu November 2023.
"Nah ini Sirekap anggaranya lebih besar gila-gilaan penyelenggaraan pemilu itu di atas Rp 107 Triliun gabungan KPU dengan Bawaslu. Dan itu kemarahan saya partai kecil, kami ditetapkan sebagai parpol Februari 2023, kami nggak diapa-apain sampai kampanye November 2023," tutur Yadi.
"Anggaran yang besar itu seharusnya dipakai untuk mensosialisasikan kami dong partai kecil," ungkapnya.
Sikap Yadi itu sejalan dengan tujuan dilaksanakan pesta demokrasi.
Baca juga: Partai Gelora: Kelemahan Pemilu Hari Ini Akibat Sirekap Tidak Berjalan Sempurna
Menurutnya, pemilu itu ruang kontestasi ide, pemilu itu adalah brain surgery bagi para politisi.
Pileg tidak diapa-apain, orang semua terkonsentrasi pada Pilpres.
Sementara Party ID masyarakat Indonesia rendah di bawah 50 persen.
"Ini lah yang membuat kekacauan Pemilu yang paling utama dari pra pencoblosan sampai pasca pencoblosan akibat dari pilegnya. Kalau pilpres saya kira nggak ada masalah karena hanya tiga calon," ucap Yadi.
"Sementara Pileg ada 10 kursi dari 18 partai yang diperebutkan artinya ada 180 orang bertarung head-to-head sesama partai juga," katanya.
Dia menilai tidak ada sosialisasi ini yang membuat masyarakat tidak punya cukup waktu mengetahui caleg.
Bahwa yang terjadi, Yadi bilang pemilih masih mau menukar suaranya dengan uang.
"Semakin banyak uang masuk itulah yang dipilih. Makanya jauh antara rakyat dengan wakilnya. Utak-atik saya yakin ada di dalam kasus Pileg," pungkasnya.