TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasangan capres cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul pada 36 dari total 38 provinsi di Indonesia, kecuali Aceh dan Sumatra Barat (Sumbar).
Jika dibandingkan pada Pemilu 2019 lalu, suara Prabowo pada dua wilayah itu terjadi penurunan sebagaimana disampaikan oleh Guru Besar UGM, Suharko saat menjadi ahli Tim Ganjar-Mahfud dalam sidang sengketa pemilihan umum presiden (pilpres) di Mahkamah Konstitusi, Selasa (2/4/2024).
Mulanya, dalam sidang hakim konstitusi Daniel Foekh meminta ahli dari Ganjar-Mahfud, Suharko, untuk menjelaskan terkait peran presiden dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Sebab ia melihat ada perubahan suara Prabowo di Aceh dan Sumbar pada Pemilu 2024.
Padahal, Prabowo diketahui unggul di Aceh dan Sumbar saat pemilu 2014 dan 2019.
Suharko lalu menjelaskan peran presiden yang berdampak pada perubahan suara Prabowo di Aceh dan Sumatera Barat pada Pemilu 2024.
Menurutnya, hal itu lantaran adanya persoalan ketokohan dari Prabowo.
"Saya kira ada anak Wali di Sumatera Barat dan di Aceh, tetapi justru itu memperkuat variabel ketokohan," ujarnya.
Baca juga: Lampu Hijau dan Restu Prabowo untuk Sudaryono Eks Asisten Pribadinya yang Maju Pilgub Jateng 2024
Variabel ketokohan di pemilu 2019 ketika Prabowo menang, lanjutnya, cukup kuat karena afiliasi atau indentitas sebagai muslim.
Kini, saat Prabowo memilih beralih mendukung Jokowi, maka dukungan ketokohan itu pun menjadi beralih.
Dia mengatakan hal itu menjadi hukuman bagi pasangan Prabowo-Gibran.
"Jadi pergeseran ini saya kira justru memperkuat variabel ketokohan tadi. Jadi masyarakat tidak diam tetapi juga berpikir secara kritis seolah-olah, mohon maaf ini menghukum paslon nomor urut 2 karena dianggap mungkin beralih dukungan menuju pada Pak Jokowi yang dulu mungkin tidak menang di Sumatera Barat dan di Aceh," tuturnya.