TRIBUNNEWS.COM - Eks Menko Polhukam, Mahfud MD mengkritik putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah.
Putusan MA mengubah ketentuan dari yang semula calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon.
Dengan kata lain, calon kepala daerah masih bisa mendaftar pilkada di bawah batas syarat usia, asalkan pada masa pelantikan sudah memenuhi syarat minimum usia 30 tahun.
Menurut Mahfud cara berhukum di Indonesia saat ini sudah rusak.
Ia bahkan mengaku sudah tak tertarik dan mual mengomentari perihal dinamika hukum di Tanah Air saat ini.
"Saya sebenarnya sudah agak males komentar ini," kata Mahfud di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (4/6/2024).
"Satu, kebusukan cara kita berhukum lagi untuk dikomentari sudah membuat mual. Sehingga saya berbicara oh ya sudah lah apa yang aku mau lakukan aja, merusak hukum itu," lanjutnya.
Mahfud menilai putusan MA ini tak tepat.
Menurutnya, tak ada alasan MA untuk mengabulkan gugatan soal batas usia calon kepala daerah tersebut.
Mahfud menegaskan, Peraturan KPU (PKPU) yang telah dibuat sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) tentang Pilkada.
Namun, ia heran karena MA justru menilai PKPU itu dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Baca juga: KPU: Putusan MA Usia Minimal Calon Kepala Daerah Tidak untuk Akomodir Kaesang Maju Pilkada
"Menurut saya putusan MA ini salah, kenapa? Karena dia membatalkan satu pasal KPU yang sudah sesuai undang-undang tetapi dinyatakan bertentangan dengan undang-undang," kata Mahfud.
Mahfud menilai, putusan MA tak hanya cacat etik, tapi juga cacat moral dan hukum.
"Secara porsedur dan kewenangan ini salah, jadi ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum."
"Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin memilih bungkam soal putusan ini.
Syarifudding mengaku tak bisa mengomentari perihal putusan yang saat ini menuai kritikan itu.
"Kita tidak boleh berkomentar terhadap putusan kita (sendiri)," kata Syarifuddin di Padang, Sumatra Barat, Jumat (31/5/2024).
Syarifuddin menegaskan bahwa dirinya tak boleh berkomentar soal putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang dinilai sejumlah pihak sebagai karpet merah putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep di Pilkada 2024 ini.
"(Soal) putusan 23 itu, kita tak boleh komentar-komentar soal itu," tegasnya.
Di sisi lain sebagai lembaga eksekutif, pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara juga enggan berkomentar perihal putusan M ini.
"Mohon maaf saya tidak mengikuti isu itu tapi tentu saja kalau keputusan lembaga yudikatif pemerintah tidak lah berkomentar mengenai itu," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kamis (30/5/2024).
Di sisi lain, Komisi Yudisial (KY) menyebut seharusnya hakim dapat menjaga rasa keadilan masyarakat dan demokrasi yang lebih baik.
"Semestinya hakim perlu menjaga rasa keadilan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap putusan tersebut, serta pelaksanaan demokrasi yang lebih baik," kata Anggota sekaligus Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata, dalam keterangannya, Sabtu (1/6/2024).
Meski demikian, Mukti menegaskan KY sejatinya tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi putusan MA tersebut.
Sebab, KY hanya berfokus pada aspek dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Namun, lanjut Mukti, pihaknya tetap menaruh perhatian terhadap putusan ini, karena dinilai menentukan gelaran pilkada yang jujur dan adil.
"KY tidak berwenang mengintervensi putusan tersebut, Tetapi KY menaruh concern atas putusan ini karena putusan ini juga menentukan pilkada yang jujur dan adil, yaitu soal uji materi terhadap peraturan KPU memang menjadi kewenangan Mahkamah Agung," ujarnya.
Mukti mempersilakan kepada publik untuk melaporkan kepada KY apabila terdapat dugaan pelanggaran kode etik hakim disertai dengan bukti pendukung.
"Sehingga nantinya laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur yang ada," jelas Mukti.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Fersianus Waku/Ibriza Fasti)