TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai, Bawaslu tak bekerja secara optimal untuk memastikan terpenuhinya syarat 30 persen keterwakilan perempuan di pemilu.
Titi menjelaskan, satu-satunya mekanisme untuk mempersoalkan hasil pemilu dalam sistem keadilan pemilu di Indonesia adalah melalui permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi.
PHPU di MK tersebut, kata Titi, dapat disebut sebagai mekanisme akhir atau puncak dari berbagai penyelesaian masalah hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu baik pilpres ataupun pileg.
Namun, ia menyayangkan, pada gelaran PHPU legislatif 2024, hanya ada satu partai yang menggugat terkait pelanggaran syarat keterwakilan perempuan itu ke MK, yakni untuk Dapil VI DPRD Provinsi Gorontalo.
"Sangat disayangkan bahwa hanya ada satu partai dan di satu dapil saja yang mempersoalkan keterwakilan perempuan di pemilu DPR dan DPRD pada saat PHPU di MK. Padahal tidak terpenuhinya ketentuan keterwakilan perempuan dalam daftar caleg bukan hanya terjadi di Dapil VI DPRD Provinsi Gorontalo, namun juga di banyak dapil lainnya," kata Titi, saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (27/6/2024).
Ia menekankan, fungsi pengawasan Bawaslu untuk mencegah pelanggaran syarat tersebut tidak dijalankan secara optimal.
"Lebih disayangkan lagi fungsi pengawasan dan penegakan hukum oleh Bawaslu tidak bisa optimal dalam mencegah dan mengoreksi pelanggaran ketentuan keterwakilan perempuan pada saat tahapan pemilu DPR dan DPRD sedang berlangsung pada saat penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024 yang lalu," ucapnya.
Baca juga: Jumlah Caleg 4 Parpol Ini Dikurangi Jika Tak Penuhi Kuota Keterwakilan Perempuan di PSU Gorontalo
Semestinya, kata Titi, Bawaslu bisa menjadikan tidak terpenuhinya ketentuan keterwakilan perempuan sebagai temuan pelanggaran dalam pencalonan yang wajib dikoreksi oleh partai politik maupun KPU sebagai implementator tahapan pencalonan pemilu DPR dan DPRD.
"Karena hal tersebut tidak dilakukan, terjadilah pelanggaran berjamaah di mana ada ribuan daftar caleg yang diajukan partai politik tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen," ujarnya.
Lebih lanjut, Titi menyampaikan, untuk pemilu DPR saja, tercatat ada 267 daftar caleg yang diajukan partai politik yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Contohnya di dapil Jakarta II dan dapil Bengkulu.
Namun, karena perkara tersebut tidak dipersoalkan dalam PHPU di MK, akhirnya tidak dapat dilakukan koreksi atas pelanggaran konstitusional yang telah terjadi.
"Tentu hal itu amat sangat disayangkan sebab yang bisa mempersoalkan perkara itu ke MK hanyalah caleg atau partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2024," kata Titi Anggraini.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian sengketa pileg yang dimohonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di daerah pemilihan (dapil) Gorontalo 6.
Dalam permohonannya, PKS mempersoalkan KPU Provinsi Gorontalo tetap mengesahkan daftar calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo Dapil Gorontalo 6 sekalipun terdapat beberapa partai politik yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30 persen.