Hal ini sesuai dengan asas kepatuhan terhadap hukum dan menghormati putusan peradilan. Banyak ahli menilai bahwa Putusan MK dapat dianulir karena pelanggaran tersebut, namun nyatanya tetap secara ketatanegaraan dijalankan dan dihormati.
Banyak pihak kemudian mempertanyakan legalitas dan dampak politisnya, namun karena menguntungkan sebagian pihak, aturan ini ditindaklanjuti dengan cepat dan responsif.
Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan pihak yang sedang berkuasa atau berkepentingan saat itu, yang mengatakan bahwa seluruh pihak harus menghormati putusan MK, namun saat ini justru melanggar atau menyimpang dari Putusan MK yang notabene adalah ketentuan.
Oleh sebab itu, apabila dalam sebuah pembahasan RUU terdapat penyimpangan substansi terhadap Putusan MK, maka hal ini tentu akan menjadi preseden yang buruk dalam kehidupan demokrasi, hukum, maupun ketatanegaraan kita. Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.
Segala warga negara dengan segala kedudukannya wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Artinya supremasi hukum merupakan dasar untuk menjalankan sistem pemerintahan yang baik.
Lebih jauh lagi, dalam hal ini Putusan MK Nomor 60 tersebut tidak mengandung sebuah hal yang melanggar moralitas maupun etika dan nilai-nilai dalam peri-kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila dan UUD 1945. Justru putusan ini dianggap dapat meningkatkan kehidupan demokratis.
Oleh sebab itu, pengaturan dalam UU Pilkada seharusnya mengikuti dan harmonis dengan Putusan MK. Ketentuan ini selanjutnya akan menjadi cermin kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan otonomi daerah yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Masyarakat tentu berharap bahwa ketentuan dalam RUU Pilkada tidak kemudian “DIPOLITISASI” untuk kepentingan tertentu yang nantinya justru merugikan masyarakat, terutama dalam memilih calon pemimpinnya. Masyarakat harus diberi keleluasaan dalam memilih dan diberi pilihan yang tepat dalam format kebebasan dalam hak politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan ketentuan perundang-undangan.
Lebih jauh lagi tidak boleh sebuah undang-undang atau ketentuan dibuat secara parsial atau untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi hanya menjadi bentuk “perlawanan” terhadap supremasi hukum.
Falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945 yang mendasari aturan perundang-undangan telah menjamin bahwa lembaga yudikatif dijalankan secara independen.
Bentuk penghormatannya, tentu seluruh pihak harus menghormati dan menjalankan putusan tersebut seperti ketentuan atau undang-undang yang mengikat.
Sebuah undang-undang tidak boleh bersifat diskriminatif atau menghilangkan persaingan sehat yang merugikan masyarakat.
Sebuah ketentuan perundang-undangan haruslah pruden dan tidak menimbulkan permasalahan hukum atau dalam hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Sebuah undang-undang harus lahir melalui mekanisme dan proses pembentukan yang benar, prosedural, dan terbuka terhadap partisipasi masyarakat yang luas dan berarti (meaningful participation). Pembahasan tidak boleh terkesan terburu-buru atau dipaksakan substansinya.
Pembentukan perundang-undangan harus sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam pembentukan dan pelaksanaan undang-undang, prinsip non-diskriminatif dan mengakui persamaan (equality) sebagai prinsip hukum umum, serta prinsip harmonisasi dengan Konstitusi harus diprioritaskan.
Oleh sebab itu, dalam ketatanegaraan kita, sekalipun hak-hak warga negara dibatasi oleh karena undang-undang maupun putusan peradilan, tidak berarti bahwa putusan atau ketentuan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai bangsa yang menghargai kehidupan demokratis, menjunjung tinggi HAM, berkeadilan, dan berkepastian hukum.
Baca juga: Siap Perang, Hari ini Partai Buruh hingga Mahasiswa Kepung DPR, RUU Pilkada Tetap Disahkan?
Untuk memastikan ini terdapat pula mekanisme pengujian undang-undang terhadap Konstitusi yang kewenangannya dijalankan oleh MK, dan semua harus tunduk pada ketentuan tersebut. Inilah bentuk ideal dari sebuah negara hukum yang demokratis dan konstitusional.
Masyarakat nantinya dapat menilai sendiri, jika terdapat sebuah undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, putusan peradilan yang sah dan mengikat, maupun nilai-nilai dalam ketatanegaraan dan ilmu perundang-undangan.
Penyelenggaraan negara dan implementasi undang-undang haruslah sama (equal) dan tidak diskriminatif hanya kepada kelompok tertentu atau sebagian kecil masyarakat, yang nantinya menimbulkan citra negatif dari lembaga atau sistem hukum itu sendiri.