Ketentuan ini kemudian juga dijabarkan dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020) dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022).
Ketentuan tersebut mengatur bahwa Putusan MK sebagai putusan peradilan merupakan sumber hukum.
Oleh sebab itu dalam ilmu ketatanegaraan, Putusan MK mewakili Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas dari undang-undang.
Konsekuensi logisnya, jika terdapat hal yang menyimpang dari sebuah pengaturan dalam RUU terhadap Putusan MK, maka hal ini tentu membuat isi UU nantinya akan bertentangan dengan Konstitusi. Hasil UU tersebut berpotensi diuji kembali dan dinyatakan batal atau tidak sah.
Baca juga: Hadiri Doa Bersama Warga, Anies: Mari Berjuang Bersama Kembalikan Demokrasi yang Sesungguhnya
Dalam prakteknya selama ini, DPR dan Pemerintah dapat dikatakan selalu menghormati Putusan MK sebagaimana penerapan asas kepatuhan, harmonisasi, akuntabilitas, dan penyelenggaraan negara yang baik dan benar (good governance), serta menegakkan supremasi hukum.
Sebagai contoh, dalam Putusan MK mengenai pasal hate speech atau penghinaan di KUHP terhadap kepala negara/penguasa yang telah dibatalkan oleh MK.
DPR kemudian menganulir pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden/Wapres atau Pemerintah yang ada dalam RUU KUHP dan menyesuaikannya dengan isi Putusan MK yakni harus menjadi delik aduan.
Dalam hal pembentukan omnibus law, lahir Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Selain itu, DPR maupun Pemerintah juga menindaklanjuti Putusan MK dengan harmonis, misalnya Putusan MK terkait dengan Penyadapan, DPR kemudian membentuk tim untuk RUU Penyadapan, mendudukkan KPK atau aparat penegak hukum sebagai cabang eksekutif, menghormati lama jabatan Pimpinan KPK, dan berbagai uji materi lainnya.
DPR dan Pemerintah dalam pembahasan UU selalu memperhatikan Putusan MK.
Dalam berbagai kesempatan pembahasan terkait dengan Putusan MK, banyak ahli hukum tata negara yang menyatakan bahwa Putusan MK berlaku sebagai undang-undang dan mengikat bagi seluruh pihak, termasuk oleh pembentuk undang-undang.
Bahkan dalam ketentuan tentang Pembentukan Perundang-undangan, Putusan MK harus dimasukkan dalam konsideran sebuah undang-undang karena undang-undang tersebut bisa jadi merupakan tindak lanjut.
Preseden ini telah berjalan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat berbagai perdebatan pada sisi substantif.
Pada tataran implementasi, Putusan MK selalu dihormati oleh seluruh pihak. Misalnya, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXII/2023 terkait dengan Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hasil putusannya tetap dijalankan sebagaimana adanya walaupun terdapat banyak perdebatan, hingga ditemukannya pelanggaran etik.