TRIBUNNEWS.COM - Unjuk rasa lapisan masyarakat terjadi di berbagai daerah memprotes rencana pengesahan revisi UU Pilkada pada Kamis-Jumat (22-23/8/2024).
Kebanyakan demo menyasar kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD setempat.
Tak sedikit daerah dalam kondisi ricuh saat demonstrasi terjadi.
Mulai dari Aceh, Bandung hingga Mataram.
Berikut rangkuman Tribunnews unjuk rasa ricuh menolak pengesahan revisi UU Pilkada di berbagai daerah:
Aceh
Mengutip SerambiNews.com, sejumlah Mahasiswa dari beberapa Universitas di Aceh menggeruduk gedung DPRA pada, Jumat (23/8/2024) sore.
Mereka menggelar aksi untuk menolak Revisi UU Pilkada yang beberapa hari lalu dibahas oleh DPR RI.
Aksi sempat bersitegang dan diwarnai saling dorong antara mahasiswa dan polisi.
Hal ini terjadi lantaran mahasiswa berusaha merangsek masuk ke dalam ruang sidang DPRA, sebab tidak ada satupun perwakilan dewan yang menemui mahasiswa.
Pantauan Serambi, mahasiswa mulai mendatangi gedung DPRA mulai pukul 16:00 WIB.
Mereka datang bergelombang dalam beberapa kelompok.
Para mahasiswa berkonvoi dengan berjalan kaki sambil berorasi ke Gedung DPRA.
Terlihat dari jas almamater, peserta aksi didominasi oleh mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Universitas Serambi Mekkah dan UIN Ar Raniry.
Sesampai DPRA, mahasiswa masuk ke halaman gedung dan berorasi.
Dalam aksinya, mereka menegaskan menolak RUU Pilkada, yang dinilai telah merusak nilai-nilai demokrasi.
Juru Bicara Aksi, Habibi menyampaikan, dalam aksi itu mereka membahas tentang demokrasi Indonesia yang telah dirusak oleh Presiden Jokowi beserta rezimnya.
Presiden yang telah menjabat dua periode itu dinilai telah membawa Indonesia kembali ke era orde baru.
Bandung
Aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas di depan kantor DPRD Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung untuk mengawal UU Pilkada berakhir ricuh, Jumat (23/8/2024) malam.
Selama aksi yang digelar sejak sore hari itu suasana di sekitar lokasi sudah mulai memanas karena massa terus membakar ban, menyalakan petasan hingga berusaha menjebol pintu gerbang kantor DPRD Provinsi Jawa Barat.
Diberitakan Tribunpriangan.com, sejumlah massa yang didominasi memakai pakaian hitam itu terlihat melakukan provokasi hingga akhirnya polisi harus beberapa kali menyemprotkan air dari mobil water canon, tetapi masa terap bertahan hingga pukul 20.00 WIB.
Akhirnya polisi pun memukul mundur massa dan mereka pun terlihat berlarian ke arah Jalan Trunojoyo, kemudian kericuhan pun tak terhindarkan karena massa berpakaian hitam terus melakukan provokasi ke polisi.
Polisi pun tak tinggal diam, para provokator satu per satu terlihat langsung diamankan, bahkan sejumlah peserta aksi harus mendapatkan perawatan medis karena ada yang terluka dan mengalami sesak nafas.
Sebelum kericuhan terjadi, Presiden Mahasiswa (Presma) Itenas Bandung, Aril Larangga mengatakan, aksi ini hanya mengawal penetapan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pilkada.
"Aksi ini kami hanya mengawal, sekali lagi kami hanya mengawal, mahasiswa Itenas hanya memgawal. Jikalau jam 4 masih belum ada ketidakjelasan dan kami mementingkan keselamatan mahasiswa Itenas, di jam 4 kami sudah membubarkan diri," ujarnya di lokasi.
Pengawalan terkait keputusan MK tersebut, kata dia, dilakukan agar marwahnya tetap benar karena saat ini pelaksanaan Pilkada masih menjadi tanda tanya besar oleh kalangan mahasiswa.
"RUU Pilkada dibatalkan, tapi kekhawatiran kami tuh takutnya malah pendaftarannya yang dimundurkan. Jadinya dari kami ingin mengawal isu ini karena isu ini, mahasiswa yang turun ke jalan bukan atas tindakan mereka sendiri," kata Aril.
Menurutnya, aksi ini atas keinginan masyarakat untuk menyuarakan pendapat karena konstitusi hanya mementingkan orang-orang yang penting seperti keluarga.
Majene
Aksi demo kawal putusan MK di depan Gedung DPRMajene yang dilakukan sejumlah elemen mahasiswa berujung ricuh.
Sejumlah pengunjuk rasa geruduk kantor DPRD Majene, hingga, ke lantai dua.
Meski polisi berupaya menahan massa agar tidak masuk ke ruang DPRD namun massa tak dapat dibendung.
Aksi kemudian bergerak ke ruang sidang DPRD Majene.
Saat massa sudah menduduki kantor ruang sidang DPRD Majene, mereka meminta agar ada perwakilan dari DPRD Majene yang hadir dan menyepakati untuk bersama-sama mengawal keputusan MK, dikutip dari Tribunsulbar.com.
Sayangnya, saat Wakil Ketua I DPRD Majene, M. Idwar hadir di tengah-tengah massa aksi.
Idwar mengaku tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak terkait keputusan secara kelembagaan DPRD mengingat harus dilakukan rapat koordinasi yang menghadirkan seluruh anggota DPRD Majene.
Kecewa atas pernyataan tersebut, massa pun memanas bahkan anggota DPRD Majene, M. Idwar harus mengamankan diri dan meninggalkan ruang sidang.
Beberapa massapun melakukan pengrusakan di dalam ruang sidang DPRD Majene seperti jendela, meja, mikrofon, bahkan beberapa dokumen milik DPRD Majene.
Mahasiswa nampak melempar kursi dan memecahkan jendela, hingga meja di kantor DPRD Majene ikut hancur.
Suara ledakan dari kaca yang dipecahkan terdengar dimana-mana.
Beberapa fasilitas nampak rusak, pas foto presiden Joko Widodo nampak dirobek.
Meja yang ada di kantor DPRD Majene hancur tak tersisa, selain itu fasilitas seperti cermin dan lain-lain juga ikut dirusak.
Bahkan beberapa massa ada yang terluka hingga bercak darah terlihat di beberapa titik.
Jendral lapangan aksi, Misbahuddin, mengatakan, pihaknya geruduk kantor DPRD Majene lantaran anggota DPRD Majene tidak ingin menemui massa.
"Aksi ini akan kembali dilakukan jika tuntutan yang dilayangkan tidak ditandatangani oleh pihak DPRD Majene,"kata Misbahuddin saat ditemui Tribun Sulbar.com si lokasi
Ia juga menambahkan aksi tersebut akan kembali dilakukan sampai DPRD Majene menandatangani berkas tuntutanya.
"Kami akan melakukan aksi jilid dua sampai permintaan kami dipenuhi,"lanjutnya.
Mataram
TribunLombok.com memberitakan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Hj Isvie Rupaeda, akhirnya menemui pengunjuk rasa yang sejak pagi menggelar aksi demontrasi di depan DPRD Provinsi NTB, Jumat (23/8/2024).
Isvie berdialog dengan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mataram Lalu Aldiara Elang Sakti, selaku perwakilan dari pengunjuk rasa dari aliansi Cipayung Plus.
Dalam dialog tersebut Aldiara menyampaikan beberapa hal terkait unjuk rasa kali ini, terutama berkaitan dengan keinginan para pengunjuk rasa yang ingin menyampaikan tuntutan di dalam kantor DPRD Provinsi NTB.
"Kami pastikan kawan-kawan didalam tidak akan ada saling gesek, semua aman," kata Aldiara mencoba menyakinkan politisi Partai Golkar itu.
Namun Isvie yang menggunakan baru bercorak bintik-bintik coklat menolak keinginan dari para pengunjuk rasa. Alasannya, sesuai dengan standar operasional prosedur tidak diperbolehkan menerima pengunjuk rasa didalam kantor.
"Seluruh kantor dan apapun sekarang tidak diperbolehkan menerima demo di dalam," kata Isvie.
Setelah menyampaikan itu, Isvie langsung meninggalkan pengunjuk rasa. Sontak para pengunjuk rasa meneriaki Isvie yang berjalan masuk meninggalkan para pendemo.
Tak berselang lama aparat kepolisian yang sudah menghimbau para pengunjuk rasa untuk segera membubarkan diri, sudah bersiap-siap untuk membubarkan paksa mereka lantaran himbauan tersebut tidak diindahkan.
Saat pembubaran paksa tersebut sempat terjadi kericuhan yang membuat polisi terpaksa menembakkan gas air mata dan water cannon. Bahkan sejumlah mahasiswa diamankan oleh pihak kepolisian.
Sementara mahasiswa yang lainnya berhamburan menyelamatkan diri ke Islamic Center NTB.
Sebelumnya Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram Herianto mengatakan, aksi unjuk rasa kali ini merupakan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
Bahkan dia mengatakan, untuk memastikan bahwa RUU Pilkada tersebut benar-benar dibatalkan. Mereka akan mengawal hingga selesai pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kita mau kawal sampai putusan MK ini tuntas, sampai pendaftaran Pilkada 27 Agustus," katanya.
Penyebab Unjuk Rasa
Sebelumnya rencana pengesahan revisi UU Pilkada mendapat protes luas dari masyarakat. Unjukrasa terjadi di sejumlah wilayah, yang beberapa diantaranya berakhir anarkis.
DPR kemudian membatalkan rencana pengesahan revisi UU Pilkada yang tadinya akan dilakukan melalui rapat paripurna.
Protes masyarakat terhadap revisi UU Pilkada tersebut bukan tanpa alasan.
Revisi UU Pilkada dinilai membegal putus MK soal persyaratan pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024.
Putusan MK yang dimaksud yakni ambang batas pencalonan di Pilkada oleh Parpol dari yang sebelumnya 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah menjadi disesuaikan dengan jumlah penduduk.
Partai partai yang tidak memiliki kursi di parlemen bisa mencalonkan kepala daerah asalkan memenuhi persentase dalam rentang 6,5 persen hingga 10 persen yang disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih tetap di masing masing wilayah.
Selain itu putusan MK yang dibegal tersebut yakni soal batas usia paling rendah calon kepala daerah untuk gubernur 30 tahun dan untuk bupati/wali kota adalah 25 tahun.
MK memutuskan bahwa batas usia tersebut saat penetapan calon bukan pelantikan.
Dua persyaratan pencalonan kepala daerah dari MK tersebut dibegal DPR RI melalui revisi UU Pilkada yang dikebut.
Dalam waktu singkat Baleg menyepakati bahwa syarat ambang batas pencalonan yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD.
Sementara itu Parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD mengikuti putusan MK yakni disesuaikan dengan jumlah DPT di masing masing wilayah.
Revisi UU Pilkada juga memutuskan batas usia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati atau Walikota ditentukan saat pelantikan bukan penetapan.
(Tribunnews.com/Chrysnha)