News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2024

Sekjen Partai Gelora tidak Menduga Gugatan Soal UU Pilkada Bakal Timbulkan Turbulensi Politik

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Mahfuz Sidik. Partai Gelora tidak menduga jika gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Partai Buruh soal ambang batas pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik yang dahsyat, mengubah peta Pilkada 2024.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan, Partai Gelora tidak menduga jika gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Partai Buruh soal ambang batas pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik yang dahsyat, mengubah peta Pilkada 2024.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi Gelora Talks, Rabu (28/8/2024) sore.

Baca juga: Mahfud MD soal Polemik Revisi UU Pilkada, Singgung Taktik Loloskan Kaesang: Maaf, Kampungan

"Ibarat orang naik pesawat lagi tenang-tenangnya mau disajikan makanan, tiba-tiba turbulensi. Pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 4.000 kaki. Anjloknya luar biasa, semua orang dan makanannya terhempas. Kami di Partai Gelora tidak memprediksi ini terjadi," kata Mahfuz Sidik.

Dalam diskusi dengan tema "Pilkada 2024 Pasca Putusan MK: Kemana Kehendak Rakyat?" itu, Mahfuz mengungkapkan awal mula muncul ide untuk menggugat ambang batas pencalonan kepala daerah, usai Partai Gelora dinyatakan tidak lolos ke Senayan karena tidak memenuhi threshold parliamentary (PT) 4 persen.

"Usai Pileg dan Pilpres, Partai Gelora waktu itu sudah diputuskan oleh KPU tidak lolos 4 persen. Lalu, kita mikir apalagi yang harus kita kerjain agar segera beralih ke agenda Pilkada. Kita temukan ada klausul dalam pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, bahwa yang berhak mencalonkan kepala daerah yang punya kursi. Itu yang kita gugat," ucapnya.

Kemudian pada bulan April, Partai Gelora mengajak diskusi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 % kursi dan 25 % suara untuk mengajukan gugatan, karena mereka juga memiliki kursi di DPRD I dan DPRD II.

"Awalnya ada 4 partai yang mau ajukan judicial review, tapi kemudian tinggal Partai Gelora dan Partai Buruh yang mengajukan. Tanggal 21 Mei kemudian kita ajukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi," kata dia.

Mahfuz tidak yakin dan pesimis gugatannya bakal dikabulkan, karena hingga bulan Juli, MK terus meminta perbaikan gugatan, sementara masa pendaftaran Pilkada pada bulan Agustus.

Baca juga: Alasan Polisi Tetapkan 19 Demonstran Jadi Tersangka Buntut Rusuh Aksi Tolak Revisi UU Pilkada

"Kita agak ragu-ragu berkaca dari hasil gugatan kita soal Pilpres, tapi kemudian kita diundang tanggal 20 Agustus untuk mendengar putusan. Ternyata, putusan yang kita dapatkan, melampaui apa yang kita minta. Kita mintanya satu dikasih 10 oleh MK," katanya.

Partai Gelora, Mahfuz, bersyukur sekaligus bingung terhadap putusan MK tersebut.

Bersyukur bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi, sementara bingung karena MK membuat aturan baru di dalam UU Pilkada yang menjadi haknya DPR selaku pembuat Undang-undang (UU).

"Sehingga terjadilah turbulensi. Efek dari turbulensi ini, terjadinya perubahan peta pilkada, dan perubahan itu. Itu masih terasa sampai sekarang. Ada orang yang pindah tempat duduk, dari di depan ke belakang atau sebaliknya, bahkan ada yang terhempas," katanya.

Akibat Putusan MK ini, menurut Mahfuz, membuat peta pencalonan kepala daerah menjadi sangat dinamis.

Partai Gelora yang pada awalnya hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah dari 55 rekomendasi menjadi lebih dari 300-an rekomendasi.

Mahfuz berharap pasca putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini, perlu dilakukan harmonisasi paket Undang-undang Politik dan mengevaluasi sistem ketatanegaraan sekarang.

"Sebab MK telah mengambil wilayah DPR selaku pembuat undang-undang, belum lagi soal sengketa Pilkada dan Pilpres sampai mengurusi hal teknis. Bahkan MK juga tidak konsisten dengan putusannya soal ambang batas pencalonan, di Pilpres kita ditolak dikatakan legal policy-nya DPR, tapi di Pilkada justru diterima dan membuat norma baru yang menjadi haknya DPR," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini