TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sosok Pramono Anung menjadi pembicaraan setelah tiba-tiba ia ditunjuk oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri maju dalam Pilkada Jakarta.
Munculnya nama Pramono menjadi kejutan karena awalnya ia tidak diprediksi sama sekali sebagai bakal calon gubernur Jakarta.
Nama yang muncul awalnya adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama.
Di sisi lain Mas Pram, begitu ia biasa disapa, juga tak pernah menyangka ia akan diusung menjadi Cagub DKI dari PDI Perjuangan.
Dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews, Pramono Anung membeberkan kronologi dirinya maju dalam Pilkada Jakarta.
”Awal saya bilang nggak mau. 'Mbak jangan bercanda dong Mbak'. Benar-benar saya nggak mau. Saya sangat hormat banget sama Ibu. Tapi saya bilang, saya tidak pernah mikir pun nggak," kata Pramono Anung di Jakarta, Sabtu (31/8).
Lantas bagaimana awalnya hingga nama Pramono yang kemudian diusung oleh PDIP untuk menjadi Cagub DKI?
Berikut wawancara lengkapnya:
Tanya (T): Banyak orang mengira Anda adalah bagian dari drama Pilkada 2024?
Jawab (J): Sebenarnya bukan bagian menjadi drama. Diri saya sendiri saja menganggap diri saya drama. Karena memang saya tidak pernah berpikir, berkeinginan, mau mencalonkan menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Saya ini sudah 25 tahun menjadi pejabat. Pernah menjadi pimpinan Dewan, empat kali terpilih sebagai anggota DPR, dua kali menjadi menteri dalam Kabinet Pak Jokowi, dan juga pada waktu Bu Mega saya juga sudah membantu Bu Mega.
Sehingga dengan demikian saya merasa bahwa sudah cukup. Tetapi begitu Ibu Mega, dan ini keputusan 1000 persen ada pada Bu Mega. Bu Mega memutuskan yang awalnya saya fight untuk menolak, tapi ketika sudah tidak bisa ya sudah, saya menjalani dengan sungguh-sungguh, bismillah, dan mudah-mudahan ini memang menjadi hal yang amanah buat saya.
Baca juga: Momen Pramono-Rano Karno dan Anies Bertemu di CFD hingga Respons Ridwan Kamil Diteriaki Hidup Anies!
(T): Begitu Anda diminta oleh Bu Mega menjadi Cagub, apa tanggapan Pak Jokowi?
(J): Jadi ini kan peristiwanya terjadi hari Senin, yang minggu ini. Jam 1, kurang seperempat saya dipanggil Bu Mega. Ketika sampai, beliau menyampaikan, "Pram, kamu masih mengakui saya sebagai Ketua Umum-mu nggak?" Masih Mbak, saya kan sama Mbak sudah 27 tahun. Saya memang 27 tahun.
"Kamu saya tugaskan untuk menjadi calon gubernur DKI." Saya bilang nggak mau. Mbak jangan bercanda dong Mbak. Benar-benar saya nggak mau. Saya sangat hormat banget sama Ibu. Tapi saya bilang, saya tidak pernah mikir pun nggak.
Maka kalau kemudian orang mengatakan di survei nggak ada, memang nggak ada. Karena saya memang sudah hampir 7-8 tahun, saya nggak pernah mau muncul di ruang publik. Karena saya yang mengerjakan dapurnya Presiden. Sebagai orang yang bertanggung jawab mengurusi dapur itu, tentunya harus konsentrasi. Dan itulah yang saya lakukan untuk itu.
(T): Dan setelah itu Anda melapor ke Pak Jokowi?
(J): Tentunya pertama saya minta izin ke istri. Kedua, bagian dari profesionalisme saya, etika bekerja, dan dalam pemerintahan saya minta izin Presiden. Karena betul yang mengangkat saya sebagai pembantu Presiden adalah Presiden.
Saya minta izin beliau. Beliau tertawa terbahak-bahak yang sudah saya sampaikan. Karena memang beliau beranggapan bahwa yang amanah yang sudah diputuskan Ibu, itu seyogianya saya jalani.
Kepada Pak Jokowi pun saya mengatakan enggak gitu. Di hari Senin, kemudian di hari Selasa pagi. Dan menjadi iya itu, terus terang baru hari Selasa jam setengah 8 malam.
(T): Waktu ngobrol dengan Pak Jokowi, Anda diminta untuk konsentrasi ke Cagub dan meninggalkan Kabinet?
(J): Saya profesional. Tentunya menjalankan tugas yang amanah yang sudah saya terima, termasuk menjadi calon gubernur ini. Saya sungguh-sungguh melakukan itu.
Saya tanya beliau, Pak, kalau memang di ini saya segera mundur. Beliau mengajukan, aturannya bagaimana? Aturannya memang tidak perlu mundur. Yang mundur itu ASN, Polisi, kemudian DPR, dan TNI. Kalau pejabat negara kan enggak. Jadi saya sampaikan juga, Pak, tapi saya akan konsentrasi untuk maju di Pilgub ini. Kalau memang saya maju, saya pasti akan konsentrasi. Saya enggak mau setengah-setengah.
Tapi memang kan ini penetapannya baru tanggal 22 September. Dengan demikian, ya saya juga minta izin ke beliau. Saya akan tetap melakukan konsolidasi ke bawah. Dan untuk itu memang harus keliling ke seluruh wilayah Jakarta. Beliau menyampaikan, bisa enggak keliling 12 titik, Pak? Baik, saya pasti bisa. Kenapa saya bilang pasti bisa? Pada hari pertama mendaftar saja, saya sudah keliling 9 titik.
Dan itu memang ya, saya ini kan memang orang di partai lama. Pernah menjadi wakil Sekjen, dan Sekjen saya tahu itu. Sehingga dengan demikian amanah yang diberikan oleh Ibu ini tentunya saya junjung tinggi.
(T): Setiap orang yang ikut kontestasi itu kan selalu punya janji. Anda sendiri janjinya apa untuk warga Jakarta?
(J): Jadi yang pertama, saya sudah sepakat sama Bang Dul (Rano Karno, red). Saya bilang sama Bang Dul, Bang, pokoknya kalau kita diberi amanah maju berdua, kita jangan membawa politik identitas, politik agama, kita berkompetisi secara riang gembira, menawarkan gagasan.
Gagasannya sebenarnya sudah ada acuannya. Karena acuannya itu undang-undang nomor dua tahun 2024. Bahwa Jakarta bukan lagi sebagai ibu kota negara, tetapi sebagai kota pusat perekonomian nasional dan kota global. Arti dari kota global, maka Jakarta harus berinteraksi dengan dunia internasional, dan harus menjadi friendly bagi investor yang akan datang di Indonesia.
Dan itulah yang kemudian kami rumuskan berdua dalam visi-misi dan dalam program kami nanti. Karena yang namanya Gubernur Jakarta itu acuannya undang-undang tersebut.
(T): Jadi janji Anda dan Rano Karno adalah menjadikan Jakarta friendly kepada investor?
(J): Friendly kepada investor, juga kepada warganya. Tentunya supaya mereka berkehidupannya lebih baik, lebih mudah, lebih bahagia, dan juga fasilitasnya kita perbaiki. Itu yang menjadi penting.
(T): Andai anda terpilih, dalam seratus hari apa yang Anda akan prioritaskan?
(J): Saya termasuk melihat bahwa setiap gubernur itu punya legacy. Baik Pak Sutiyoso, Bang Foke, Mas Anies, Ahok, Pak Djarot, walaupun sebentar, termasuk Pj yang sekarang, semuanya punya legacy. Jadi semua hal yang baik yang sudah diwariskan oleh para pendahulu ini dilanjutkan.
Tetapi, yang paling prinsip yang akan kita lakukan adalah berdasarkan undang-undang tadi, membuat Jakarta menjadi kota global, tetapi dan perekonomian nasional, dan memberikan kemudahan kepada siapapun yang akan datang ke Jakarta. Tidak lagi, misalnya Jakarta ini hanya untuk orang yang punya pekerjaan di Jakarta, atau Jakarta hanya kepada orang-orang yang mampu. Siapapun menjadi tanggung jawab pemerintah. Dan itulah yang akan kami lakukan.
(T): Banyak orang masih teringat janji para pejabat yang dulu, misalkan ada rumah, orang Jakarta kan perlu rumah juga, DP 0%, menciptakan ruang hijau, termasuk bagaimana kemudian mengurus reklamasi di wilayah utara Jakarta. Menurut Anda gimana tuh?
(J): Ya, banyak program yang terlalu muluk-muluk, biasanya tidak bisa diimplementasikan. Saya lebih berpikir bahwa program itu adalah program yang bisa diimplementasikan, tidak perlu yang terlalu muluk-muluk.
Contohnya, sebagai Sekretaris Kabinet, hal yang berkaitan Jakarta ketika dibahas, itu sebenarnya sebelum rapat dimulai saya yang mempersiapkan. Ketika rapat sudah diputuskan, saya yang mengeksekusi kepada kepala lembaga termasuk kepada gubernur yang ada. Sehingga dengan begitu, saya punya pengetahuan terhadap Jakarta ini, mungkin lebih dari yang lain. Karena memang kami yang mempersiapkan, termasuk dalam hal pembahasan undang-undang yang kemudian diundangkan ini, draft awal, naskah akademik, dan sebagainya-sebagainya, kami sudah terlibat dari situ. Jadi bukan hal yang baru bagaimana tentang LRT, MRT, polusi udara, transportasi, sandang pangan papan, dan juga program-program sea wall yang dulu pernah disampaikan di utara itu, itu bukan hal yang baru.
(T): Jadi kalau di pom bensin Anda tidak mulai dari nol ya?
(J): Enggak, enggak. Makanya saya tadi katakan bahwa legacy yang sudah dibuat oleh gubernur sebelumnya, pasti saya lanjutkan.
Baca juga: Adian PDIP: Pramono Bukan Titipan Istana, Dia Titipan Rakyat!
(T): Anda sempat bertanya enggak sama Bu Mega, kenapa kok saya, bukan yang lain? Misalkan Pak Prasetyo Eddy atau apa, enggak ya?
(J): Bukan hanya bertanya, sempat nangis-nangis. Tetapi kan begini ya, kenapa kemudian PDIP bisa mencalonkan sendiri? Itu kan tidak pernah terbayangkan. Karena sebelumnya kalau tidak ada gugatan di MK, tidak ada putusan MK nomor 60, dan itu enggak mungkin. Tidak ada mahasiswa demo, tidak mungkin.
Sehingga dengan begini ya, ini bagian dari sejarah. Ini bagian dari bagaimana kontribusi yang diberikan oleh MK, dan juga para mahasiswa, para buruh, para petani, para nelayan, yang kemudian membuat, bisa mencalonkan.
Awalnya terus terang saja, saya yang ragu-ragu banget untuk maju. Karena memang sudah enggak ingin. Makanya kalau melihat medsos saya, isinya cuma cucu, naik sepeda, enggak pernah yang berkaitan dengan keinginan untuk jabatan apa-apa. Tetapi, saya ini fighter. Ketika sudah menjadi keputusan, pasti saya akan berjuang semati-matinya untuk bisa memujukkan itu.
(T): Sebagai politisi sekaligus pejabat negara, Anda pasti mengikuti perkembangan dinamika politik, mulai dari Pilpres sampai Pilkada. Kalau menurut pengetahuan Anda, apakah dinamika politik di luar itu nanti akan mengganggu atau menjadi fokus yang akan menjadi barrier Anda?
(J): Ya, satu, saya ini kan menjadi beruntung saya bisa berkomunikasi dengan semuanya. Termasuk dengan Pak Jokowi, dengan baik. Dengan Pak Prabowo, dengan baik. Dengan Pak SBY, dengan baik. Seluruh ketua umum partai. Karena memang seringkali saya ditugaskan oleh Ibu Mega. Dan selalu saya silent, nggak pernah ngomong dengan siapapun.
Bahwa dinamika politik yang begitu kencang di Pilpres maupun Pileg, menurut saya akan berbeda dengan Pilkada ini. Kenapa? Karena Pilkada ini, di dalam tubuh pemerintah sendiri, terutama polisi dan aparat penegak hukum, itu sudah capek.
Pilkada begitu banyak, 514 kota kabupaten, 37 provinsi, nggak gampang. Dan mereka harus bisa menjalankan ini dalam waktu yang tinggal 3 bulan. Kalau kemudian misalnya ada yang mencederai demokrasi kita, pasti ini juga dampaknya akan panjang. Apalagi pemerintahan yang sekarang tinggal 1,5 bulan lagi.
(T): Jadi maksudnya dinamika politik di Pilpres dan Pileg agak berbeda ya?
(J): Agak berbeda. Bahwa beberapa daerah pertarungannya akan ketat, termasuk di Jakarta, menurut saya iya.
(T): Banyak orang beranggapan bahwa dalam Pilkada kali ini PDI Perjuangan itu nggak siap karena pendadakan gara-gara putusan MK itu?
(J): Memang Putusan MK itu tidak terbayangkan. Bukan hanya kepada PDI Perjuangan, tapi kepada seluruh partai. Maka kenapa kemudian di Banten berubah, Jawa Barat berubah, Jawa Timur berubah, Lampung berubah. Ya karena keputusan MK, semua partai politik tidak siap. Sehingga terjadi regrouping baru beberapa yang kemudian, terutama di tingkat 2 ya.
Paling banyak sebenarnya kita bekerjasama dengan Gerindra. Baru kemudian dengan Golkar, tapi paling banyak kita dengan Gerindra.
(T): Kenyataannya begitu ya?
(J): Iya. Jadi saya melihat bahwa tidak ada, ini lebih dinamis, tidak ada regrouping yang ini Kim, non-Kim. Itu nggak ada. Jadi dinamikanya memang betul-betul. Tergantung di daerah itu sendiri. Tergantung di daerah itu. Tergantung di daerah itu sendiri.
(T): Sebagai orang yang dekat dengan Pak Jokowi, dekat pula dengan Bu Mega, dengan ketua partai politik, apakah anda melihat ada cawe-cawe presiden dalam tanda petik dalam penentuan calon di Pilkada Serentak ini?
(J): Pilkada ini totally berbeda dengan Pilpres dan Pileg. Bahwa ada yang masih mengatakan itu ya, ini kan negara demokrasi. Boleh-boleh saja. Tetapi konteksnya sudah berbeda banget. Karena yang seperti saya katakan tadi, dulu di Pilpres maupun di Pileg kompetisinya kan memang partai dan 3 Pilpres ini. Kalau sekarang kan kompetisinya begitu luas dan bercampur baur.
Bisa aja PDI Perjuangan dengan Golkar, tiba-tiba PDI Perjuangan dengan Gerindra, bahkan PDI Perjuangan dengan partai-partai yang di luar dugaan.
(T): Selain Anda, ada satu menteri lagi dari PDIP yang maju kontestasi, yakni Bu Risma. Apakah dalam konteks itu Anda dan Bu Risma melakukan koordinasi meskipun daerahnya beda?
(J): Ya saya ini kan dilahirkan di Kediri, warga Jawa Timur lah dulunya. Tentunya komunikasi di internal partai itu pasti dilakukan. Termasuk ketika saya mendaftarkan, Bu Risma ikut nganter. Dan Pak Ahok yang nganter.
Jadi di kami ini hal yang biasa lah bahwa apa yang bisa kita kerjasamakan sebagai gagasan, ide, program itu pasti kita lakukan.
(T): Ada beberapa fenomena di dalam Pilkada ini seperti regrouping yang Anda sebut. Tapi satu isu lain yang paling menarik yakni lawan kota kosong. Masih banyak ini lawan kota kosong. Kayak di Surabaya, lawan kota kosong. Anda melihat fenomena ini apa sih? Biasa saja atau memang set-up sehingga kemudian supaya menang mudah?
(J): Anak saya ketika maju pertama kali, dia ketika maju umur 28 lawannya kotak kosong. Karena kenapa kotak kosong? Karena mereka berpikir, sudahlah di situ memang basisnya keluarganya Pramono Anung. Dan itu memang realitanya seperti itu.
Nah dengan keputusan MK ini, karena sekarang partai dengan 7,5% bisa mencalonkan, maka saya bilang ke anak saya, lebih baik kamu ada lawannya. Nggak apa-apa. Jadi semua, kalau di Kabupaten Kediri hampir semuanya mencalonkan anak saya, lawannya hanya satu dua partai begitu.
Dan itu terjadi dan menurut saya nggak apa-apa. Dan itu bagian dari demokrasi kita. Bahwa di Jawa Timur itu ada beberapa daerah yang lawannya kotak kosong. Seperti Surabaya, Ngawi juga mungkin kotak kosong.
(T): Jadi menurut Anda itu biasa saja ya?
(J): Biasa saja menurut saya. Tapi hampir semua partai terkejut. Dan saya sendiri juga terkejut. Misalnya di Surabaya yang bayangannya pada waktu itu hanya Mbak Khofifah sendiri, tiba-tiba ada Bu Risma, tiba-tiba ada Mbak Luluk. Menurut saya ini tiga srikandi bertarung di Jawa Timur luar biasa. Basis yang NU lagi.
(T): Sebagai politisi tulen, dan ini memang wilayah Jakarta titiknya tidak sebanyak Jawa Barat, dan seterusnya. Nah, ini kan tetap perlu ada komandan lapangan, kayak ketua tim kampanye. Apakah Anda akan membentuk tim kampanye sendiri atau mengikut tim kampanye yang sudah disediakan oleh partai?
(J): Enggak, saya karena mau bertarung, saya sudah berkonsultasi dengan Ibu Ketua Umum, dengan Sekjen. Awalnya memang saya ingin Adian Napitupulu yang menjadi komandan. Tetapi karena melihat dinamika yang ada, tadi pagi saya juga sudah rapat dengan tim yang ada. Karena saya sampaikan, yang akan saya ajukan adalah seorang public figure yang bisa diterima di DKI Jakarta. Tetapi siapanya nanti akan saya sampaikan kemudian.
(T): Ada orang berpendapat bahwa nantinya yang akan lebih banyak tampilnya itu, Bang Rano. Karena dia memang sudah akrab dengan orang Jakarta, apalagi dia seorang public figure sekaligus politisi. Apakah benar seperti itu?
(J): Enggak. Dengan saya sekarang ini hampir setiap hari bisa lima stasiun TV, ataupun muncul lagi ke publik berkali-kali, saya tentunya juga menyosialisasikan diri saya.
Maka kenapa saya ini fighter? Karena saya juga enggak mau bahwa dalam Pilgub ini enggak sukses. Sehingga saya dengan Bang Rano sudah berbagi tugas, berbagi wilayah, berbagi cara. Karena tidak semua bisa saya masuk dan tidak semua bisa Bang Rano masuk. Kami berdua kebetulan saling melengkapi.
(T): Jika Anda terpilih, kira-kira apakah nanti Anda akan melakukan semacam pembagian tugas dengan Bang Rano, sehingga kemudian, kan sekarang ini agak sensitif ketika hubungan gubernur dan wakil gubernur itu kalau tidak disepakati, meskipun satu partai kan akan jadi masalah?
(J): Saya secara chemistry sama Bang Dul ini sudah ketemu dari dulu secara chemistry. Dan kami berdua, saya yakin pasti bisa dengan mudah untuk melakukan apa yang menjadi kesepakatan bersama. Saya pasti yakin nggak akan ada hambatan. Nggak ada hambatan.
Termasuk apa yang menjadi prioritas beliau karena beliau latar belakangnya adalah seniman, walaupun sudah dua, tiga periode menjadi anggota DPR RI. Tetapi kan ada hal-hal yang saya lebih punya pengalaman, terutama di birokrasi pemerintahan, sebagai teknokrasi, dan sebagainya. (tribun network/fah/dod)