Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Wiryawan, meminta PDIP seharusnya bersikap lapang dada dan ikhlas menerima banyak kekalahan di Pilkada 2024. Hal itu dikatakan Wiryawan merespons tudingan PDIP atas kekalahan jagoannya di sejumlah Pilkada, seperti di Sumut, Banten, Jabar, Jateng, hingga Jatim.
Wiryawan sendiri mengkritik sikap PDIP yang menuding-nuding kalap ke pihak di luar.
“Aneh. Kalah di banyak Pilkada kok menyalahkan orang lain? Kayak tantrum. Cobalah belajar menerima dengan lapang dada dan ikhlas,” kata Wiryawan kepada wartawan, Sabtu (30/11/2024).
Wiryawan melanjutkan, PDIP harus melakukan introspeksi ke internal mereka sendiri, mencari tahu mengapa banyak kandidat mereka dijauhi rakyat.
“Jadi, merenunglah. Jangan justru menghasut rakyat, melempar agitasi tanpa dasar, yang ujung-ujungnya hanya ingin membuat kekacauan di ruang percakapan publik,” ujar Wiryawan.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan, Pilkada seharusnya menjadi cermin kualitas peradaban bangsa.
Namun, nampak hal itu dihancurkan oleh adanya ambisi kekuasaan sosok yang senang disebut sebagai 'Raja'.
Sang 'Raja' atau yang oleh Dr. Sukidi menyerupai karakter 'Hitler dan Pinokio tersebut' kini mencoba menanamkan pengaruhnya di Sumatera Utara.
Baca juga: Belot Dukung Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta, Effendi Simbolon Resmi Dipecat PDIP
Hal itu disampaikannya saat berbicara di Forum Demokrasi bertajuk 'Selamatkan Demokrasi di Sumatera Utara', Minggu (17/11/2024).
“Sang Raja ini gemar berbohong, dan mengingkari janji-janjinya demi kuasa. Sang Raja ini gemar membagi sembako dengan dana negara untuk kepentingan anak dan menantunya. Karena ambisi Raja terhadap menantunya inilah berbagai skenario dijalankan. Pejabat daerah yang seharusnya netral disalahgunakan,” kata Hasto.
Hasto juga membeberkan berbagai pengkhianatan demokrasi yang terjadi, lalu bertanya kemungkinan Pilkada serentak di Sumut ditunda bila ketidaknetralan aparat tetap berlangsung.
“Apakah tindakan institusi negara yang tidak netral ini kita biarkan?” Kata Hasto.
Dijawab “Tidak,” oleh hadirin yang hadir.
“Apakah Pilkada yang nyata-nyata melibatkan aparatur negara ini layak untuk dilanjutkan?” Tanya Hasto lagi.
“Tidak,” jawab para hadiri lagi.
“Kami berharap pilkada sebagai agenda nasional tetap dilanjutkan. Tapi syarat objektivitas dan Jurdil, harus dapat dijamin oleh pemerintah bersama seluruh penyelenggara pemilu. Dan kita sebagai penopangnya agar demokrasi bisa dilanjutkan,” tegas Hasto.
Politisi asal Yogyakarta ini memuji Sumut yang melahirkan setidaknya 12 Pahlawan Nasional. Namun perjuangan pahlawan itu bisa ternodai oleh perilaku keluarga yang terus berambisi untuk terus berkuasa.
Baca juga: PDIP Menang di 14 Provinsi Tapi Receh, Jumlah Pemilih Hanya 35 Juta, KIM Plus Strategis DPT 122 Juta
“Saya sengaja menyebut nama para Pahlawan Nasional dari Sumatera Utara guna menegaskan bahwa inilah negeri para patriot, negeri para kusuma bangsa yang berjuang bagi kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan keluarga,” kata Hasto.
“Menyelamatkan demokrasi di Sumatera Utara adalah tugas dan kewajiban kita. Sama dengan tugas para pahlawan. Karena itulah kita berjuang dengan tidak mengenal rasa takut. Kita lawan berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang mengebiri demokrasi. Bayangkan hanya karena ambisi satu keluarga, lalu Sumatera Utara mau dijadikan bagian dari kekuasaan keluarga. Apakah kita rela?” tanya Hasto, dijawab “Tidak” oleh hadirin dengan bersemangat.
Hasto mengatakan pasangan Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala sungguh merasakan hal tersebut. Begitu banyak pihak yang mencoba membantu mereka dengan bergotong royong. Namun, mereka dilarang.
“Mereka ditelpon oleh aparat negara yang memegang kekuasaan hukum. ‘Jangan pernah bantu Edy Rahmayadi dan Hasan Basri Sagala’ katanya. Berbagai tekanan tersebut menjadikan mereka berdua seperti ‘pasangan haram’ dalam Pilkada,” ujar Hasto.
“Inilah konsultasi kami yang pertama. Ketika demokrasi dibelokkan arahnya oleh kekuasaan, apakah ini akan dibiarkan?” tanya Hasto.
“Lawan,” teriak para hadirin.
“Bukankah rakyat seharusnya merdeka untuk menentukan pilihannya, lalu mengapa ada berbagai intimidasi? Apakah ini yang disebut demokrasi? Lalu kemana kemerdekaan berpendapat rakyat Sumatera Utara? Kita tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan 12 Pahlawan Nasional Sumatera Utara. Kita semua akan melakukan perlawanan agar demokrasi tidak mati,” tegas Hasto.
(*)