Setelah siang, ia pulang membawa ikan sebanyak mungkin, kurang lebih 10 kilogram. Hasil tangkapannya ini akan diolah menjadi ikan asin.
Lalu dikumpulkan lagi ke pengepul dan dibeli dengan harga Rp 25 ribu per kilonya. Setiap hari diungkapkan La Mamma, ia bisa konsisten mendapatkan ikan 10 kilogram hingga 20 kilogram.
Seakan tak meragukan lagi rezeki Illahi, La Mamma tetap percaya diri untuk mengambil ikan di laut yang kala itu melimpah.
Namun, berjalannya waktu La Mamma memilih untuk berhenti saja menjadi nelayan. "Tidak ada mi juga ikan," katanya dalam logat setempat.
Perlahan hasil tangkapannya berkurang, yang dulunya melimpah ruah kini La Mamma sudah bersyukur jika mendapatkan lima ekor ikan.
"Itu hanya untuk di makan saja," tuturnya sambil tertawa getir.
Kepala Dusun II Desa Boedingi, Januda (59), berkeluh hal sama. Januda juga merasakan nasib yang sama.
Pria 56 tahun ini, mengungkapkan dulu mencari ikan adalah mata pencaharian utamanya.
Tak ada hari, tanpa pergi melaut dan mengambil ikan untuk dijual lalu disantap lezat oleh keluarganya.
Namun kini, ia berhenti melaut. Karena baginya, modal untuk menjadi nelayan lebih besar ketimbang hasil yang didapatkannya.
"Paling mahal itu bensin dibeli, apalagi kalau sudah keluar jauh dari sini (Desa Boedingi) pasti lebih mahal lagi dan banyak BBM dibeli," jelasnya saat ditemui jurnalis Tribun Sultra Tribun Network.
"Untung kalau pulang dapat banyak ikan, tapi sudah tidak seperti dulu mi lagi," jelasnya.
Lebih baik bagi Januda saat ini untuk tidak menggantungkan nafkahnya dengan menjadi nelayan. Secara tidak langsung, kini ia sudah kehilangan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan.
Meski demikian, sesekali untuk mencukupi biaya hidup, sejumlah warga yang menganggur akan menjadi buruh pasir.