News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Petaka Nikel di Konawe Utara

Ekosistem Laut Pulau Labengki Konawe Utara Terancam Ikut Musnah

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Panorama dari udara Desa Boedingi di pesisir pantai dan bukit-bukit nikel di belakangnya yang dikeruk pertambangan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Situasi ini diabadikan emdio Februari 2023 oleh jurnalis Tribun Sultra Tribun Network.

TRIBUNNEWS.COM, KONAWE UTARA – Aktivis lingkungan Habid Nadjar mencemaskan punahnya ekosistem di Pulau Labengki, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Dampak penambangan ore nikel di wilayah itu yang berlangsung sangat masif dalam beberapa tahun terakhir, sangat merusak alam.  

Pulau Labengki yang tak jauh dari Desa Boedingi, desa yang kini nyaris punah, terancam kehilangan eksistensinya.

Menurut Nadjar, kehidupan sumber daya alam laut Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan yang menunjang kehidupan masyarakat setempat.

Namun perlahan, kekayaan itu tergerus beserta rusaknya ekosistem laut tempat para nelayan selama ini menggantungkan hidup dan harapan.

Habib Nadjar membayangkan masa kelam ketika perlahan kehidupan manusia di daerah itu tak lagi seindah dan semudah saat ini atau beberapa tahun lalu.

Baca juga: Terumbu Karang Desa Boedingi Konawe Utara Tertutup Lumpur Nikel Setebal Empat Meter

Baca juga: Warga Boedingi Konawe Utara Berhenti Melaut, Menganggur atau Jadi Buruh Pasir Ore Nikel

Baca juga: Murid-murid SD Boedingi Perangi Polusi Debu Nikel dan Deru Mesin Berat

Pemandangan dari udara Desa Boedingi di Kabupaten Konawe Utara terilhat cokelat kemerahan, terkepung ore nikel yang ditambang dari bukit di belakang desa pesisir itu. Desa itu dihuni Suku Bajo yang dulunya bekerja sebagai nelayan dan petani mutiara. (TRIBUN SULTRA/DESI TRIANA)

Oksigen tak lagi diproduksi plankton di laut akibat habitatnya ikut punah. Laut menurut Nadjar merupakan penghasil 50 persen hingga 80 persen oksigen di bumi.

Jika laut tercemar, maka oksigen yang masuk ke dalam tubuh manusia juga ikut tercemar. Menyebabkan dampak gangguan kesehatan yang mengancam kehidupan manusia pula.

"Kalau ekosistem lautnya rusak, maka tidak akan ada lagi yang memproduksi oksigen. Bayangkan, jika itu terjadi maka  kita semua akan habis," tuturnya.

Habib Nadjar menegaskan terjadinya kerusakan ekosistem laut di wilayah perairan Pulau Labengki, dan sejumlah kawasan wisata lainnya seperti Pulau Sombori, dan Pulau Bawulu tidak lain akibat aktivitas pertambangan yang tak terkontrol.

Sedimen tambang dibiarkan merembes ke lautan hingga perlahan mengenai rumah ekosistem laut atau terumbu karang sampai mati dan tak berkembang lagi.

"Kalau tidak salah secara regulasi para penambang ini punya kewajiban untuk menata wilayah tambang mereka agar sedimen itu tidak jatuh ke laut," jelasnya.

Terlebih saat musim hujan dan banjir melanda, sedimen tambang akan lebih mudah tumbah ke laut mengakibatkan kerusakan alam di laut.

"Nah, kelihatannya tambang tambang ini tidak melakukan upaya itu, jadi harusnya kan ditembok, supaya tidak berdampak pada ekosistem yang ada," tuturnya.

Terumbu karang di pesisir Desa Beodingi, Konawe Utara, Sulawewi Tenggara, ini tak tersisa lagi, diselimuti lumpur tebal ore nikel dari penambangan di desa itu. Panorama bawah laut ini diabadikan medio Februari 2023. (TRIBUN SULTRA/DESI TRIANA)

Sama dengan pelabuhan jetty ore nikel di Desa Baedingi, harusnya ditembok sehingga saat proses bongkar muat dapat diantasipasi agar material tak sampai jatuh ke laut.

"Tapi fakta di lapangannya kan tidak seperti itu dibiarkan begitu saja gitu kan?" keluh aktivis yang pernah jadi jurnalis di Makassar itu.

Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dan stakeholder terkait, kata Habib Nadjar menjadi salah satu alasan aktivitas pertambangan bekerja serampangan.

“Berarti pengawasan yang tidak ada. Harusnya ada pengawasan wilayah kewenang dari dinas terkait kalau kita berbicara kebijakan," tuturnya.

"Ini kan tanggung jawab mereka (pemerintah) sebenarnya, keputusan ini (perizinan aktivitas pertambangan) kan semua berizin artinya ini atas nama negara harusnya pelaksana di lapangan eksekutor di lapangan untuk memonitor segala dampak itu," jelasnya.

“Makanya kenapa kita sangat khawatirkan, 10 tahun kedepan Labengki dan Sombori hilang. Dalam artian sebagai kawasan wisata. Apalagi andalannya kan alam, terumbu karang, dan ekosistem yang sehat,” kata Nadjar.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sempat memperingatkan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait aktivitas tambang nikel di Konawe Utara (Konut).

Sebab, aktivitas tambang nikel ini menurut KLHK menjadi ancaman nyata untuk kawasan Taman Wisata Alam Teluk Lasolo, khusunya Pulau Labengki.

Hal itu diungkap Kepala Subdirektorat Penguatan Fungsi dan Pembangunan Strategis Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK, Toni Anwar.

"Wilayah sini selain pengembangan wisata, ada juga tambang, ini saya kira perlu diperhatikan, jangan sampai ini terganggu," ujar Toni Anwar di Pulau Labengki, pada Sabtu (3/12/2022).

Untuk itu, Toni meminta pemerintah daerah melalui analisis dampak lingkungan yang sangat ketat. Sebab, dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan akan berpengaruh terhadap alam itu sendiri.

"Seperti adanya sedimentasi di laut, menghilangkan spot-spot di sini. Sehingga perlu keseimbangan antara Pemda dan KSDAE untuk pengembangan wisata," katanya.

Anak-anak warga Desa Boedingi, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, bermain dan melompar ke laut di antara rumah-rumah panggung yang dihuni penduduk Suku Wajo. (TRIBUN SULTRA/DESI TRIANA)

Meski saat ini, aktivitas tambang dan pengembangan pariwisata berjalan beriringan, tetapi belum memberi dampak berarti.

"Walaupun memang sudah sangat marak pembangunan untuk menyediakan mineral nikel, harapannya bisa diimbangi, mudah-mudahan tidak mengganggu kondisi alam," harap Anwar.

Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Kendari, Dwiprayogo Wibowo SSi MSi, pernah melakukan penelitian analisis kandungan logam nikel (Ni) dalam air laut dan persebarannya di wilayah perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara pada 2019-2020.

Hasilnya, ada hubungan aktivitas kegiatan masyarakat  terhadap  tingginya  kandungan  logam  Ni yang   terakumulasi   dalam   air   laut   Teluk   Kendari.

Berdasarkan  baku  mutu air laut untuk biota laut standar  kandungan  Ni  dalam  air  laut  sebesar  0,05 mg/L,  sehingga  pada  T2,  T3,  T4,  dan  T5  dinyatakan telah  melebihi  ambang  batas.

Tingginya  konsentrasi logam  Ni  dalam  lingkungan  perairan  Teluk  Kendari disebabkan  berbagai   factor, mulai limbah  rumah tangga,  penggerusan  batuan  atau  lapisan  tanah  dari aktivitas pembukaan lahan baru dan pertambangan  di sekitaran Kota Kendari.

Menurut pria yang sedang menemupuh pendidikan Doktoral Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan, di Universitas Indonesia, kondisi lingkungan yang sudah berubah ini salah satunya diakibatkan dari air hujan yang membawa sedimen dari hulu ke hilir.

Misalkan ada aktivitas (pertambangan) di atas gunung yang nantinya ketika kondisi hujan, sebagian air hujan mengalir di atas permukaan tanah dan membawa sejumlah partikel yang akan tertampung di sekitar bibir pantai.

“Tentunya itu yang bisa mengakibatkan apa yang disebut dengan pencemaran lingkungan. Sehingga kita mengambil lima titik lokasi sampel di area Teluk Kendari, mulai dari di dekat Masjid Al Alam, Pelabuhan   Perikanan Samudera, Wisata   Agribisnis   Kendari, Kendari Beach, hingga Pelabuhan Nusantara,” tuturnya saat dihubungi TribunnewsSultra beberapa waktu lalu.

Setelah diuji laboratorium ternyata, berdasarkan standar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, ada sebagian yang tinggi.

Ia juga menjelaskan dampak limpasan lumpur sedimentasi dari hasil penelitiannya pada 2019 di Teluk Kendari itu, sangat berpengaruh dengan kondisi laut yang ada. Khususnya di wilayah Masjid Al Alam. Ia juga memastikan, ekosistem ikan di wilayah tersebut sudah berkurang.

Dwiprayogo Wibowo menjelaskan kandungan nikel ini bisa berpotensi mencemari lingkungan karena mudah terionisasi dan mengendap bentuk sedimen.

Tak hanya nikel, namun berbagai ion-ion logam bisa larut di air laut. Pasalnya air laut bisa saja dalam kondisi asam atau basa.

Ia lantas mengambil contoh saat bekerja di area pertambangan Desa Marombo, Konawe Utara yang jaraknya 20,6 kilometer dari Boedingi.

Berdasarkan pengalamannya, saat hujan turun sedimentasi juga banyak turun ke laut karena aktivitas tambang yang ada di bukit.

Sebagai peneliti, ia mencurigai jika wilayah pesisir yang ada di Konawe Utara memiliki kandungan logam dari sedimentasi.

“Hanya saja secara fisik, identifikasi saya adalah jika ada aktivitas tambang boleh jadi (terjadi pencemaran). Kebolehjadian dapat membuat parah kondisi lingkungan atau berdampak minim pencemaran lingkungan,” tuturnya.

Saat melihat dokumentasi jurnalis Tribun Sultra Tribun Network terkait sedimentasi area terumbu karang di perairan Desa Boedingi, Dwiprayogo terkejut.

Gambar yang didokumentasi dari kedalaman 10 meter itu, terlihat kondisi terumbu karang Desa Boedingi diselimuti sedimentasi yang tingginya mencapai satu hingga dua meter.

“Wah kasihan ya karangnya tertutup sedimentasi. Secara fisik, terlihat karangnya tertutup oleh sedimen.. ini bisa mengakibatkan pertumbuhan terumbu karang terhambat karena tertutup oleh sedimen sehingga sedikit memperoleh cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis,” jelasnya.

Ia juga mencoba melihat dokumentasi foto udara di Kawasan Desa Boedingi. Meski begitu, ia menyatakan perlu dilakukan penelitian mendalam di lapangan dan laboratorium.(Tribunnews.com/TribunSultra/Desi Triana)

ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ; 

Baca Selanjutnya: Harta karun yang hilang di desa boedingi kampung suku bajo sulawesi tenggara sejak tahun

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini