Para Puang, sebutan untuk pemimpin di Toraja, dari Tallu Lembangna kembali meminta bantuan kerajaan Enrekang dan Sidenreng.
Akhirnya, La Tanro Arung Buttu, raja Enrekang ke-14 bertemu dengan prajurit dari Kerajaan Bone dan mengeluarkan peraturan.
Peraturan tersebut melarang para pedagang kopi untuk melewati Bambapuang di Enrekang.
Para pedagang kopi juga dilarang melewati Sidenreng, Wajo, dan Luwu untuk berdagang.
Mereka hanya boleh berdagang melalui Pinrang. Peraturan tersebut dituruti oleh semua pihak dan menjadi solusi utama.
Perang Kopi berakhir pada 1890 tanpa kemenangan salah satu pihak.
Hal ini menjadi alasan kenapa beberapa pecinta kopi di dunia menyebut kopi Toraja sebagai 'war coffee', atau kopi perang.
Meski demikian, banyak yang lupa bahwa kopi adalah faktor pendorong perang ini.
Periode 1890-an merupakan masa yang penuh gejolak bagi Toraja karena alasan di luar biji kopi dan jalur perdagangan.
Dampak Perang Kopi
Ditulis oleh Terance W Bigalke dalam bukunya "The Social History of Tana Toraja" (2005), kopi menjadi komoditas bernilai tinggi akibat perang tersebut.
Meski demikian, trademarking kopi dari Sulawesi Selatan terjadi di Pasar Kalosi oleh Belanda pada zaman kolonialisme.
Kalosi dipilih karena merupakan titik strategis di jalan utama yang menghubungkan Toraja dan Makassar.
Dilansir dari situs The Primadonna Life, di Toraja sendiri perkebunan kopi belum banyak berubah.