Kebanyakan kopi yang diproduksi di Toraja berasal dari petani-petani kecil dengan produksi yang cukup rendah, sekitar 300 kilogram per hektare.
Hal ini menyebabkan kopi Toraja menjadi komoditas yang makin dicari-cari karena keistimewaannya.
Hingga kini, kopi Toraja masih dipetik dan disortir dengan tangan, sebuah proses yang menjamin kualitas kopi bagi para konsumen.
Pada awal 1900, kolonial Belanda mulai memodernisasi kebun kopi. Van Dijk membuka kebun kopinya di Toraja.
Kemudian, setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia meluncurkan kebijakan nasionalisasi yang mengambil pertanian milik Belanda.
Pada tahun 1950, kebun kopi menjadi milik Indonesia. Tapi, ada pemberontakan yang membuat perdagangan kopi macet.
Hanya orang-orang tertentu yang diizinkan melewati blokade yang dipegang oleh separatis.
Tapi itu cepat diatasi oleh pasukan Indonesia. Sekarang, lahan bekas pertanian Van Dijk dioperasikan oleh PT Sulotco Jaya Abadi.
PT Toarco juga merupakan perusahaan kopi beroperasi jauh sebelum kebijakan nasionalisasi. Selain itu, ada juga banyak pertanian yang dikelola oleh orang per orang.
Karakter Kopi Toraja
Karakter khusus kopi Toraja adalah bagian kopinya yang tebal dan tingkat keasaman rendah.
Rasanya didominasi oleh cokelat dan karakter yang bersahaja. Karakter rasa lain yang datang dari kopi Toraja adalah rempah-rempah, kayu manis, dan berry.
Kopi Toraja juga dikenal meninggalkan rasa cokelat hitam setelah diminum.
Sedangkan sifat keasaman rendah berasal dari beragam metode pengolahan biji kopi, seperti half wash dan full wash.