TRIBUNNEWS.COM, JAYAPURA – Anda tahu ulat sagu? Ini satu di antara camilan ekstrem di Papua, tentu bagi warga dari luar? Berani mencoba?
Sepintas melihat ulat sagu, yang terbayang adalah hewan gendut putih yang menggeliat-geliat bikin geli atau malah ngeri.
Ulat sagu umumnya memang berwarna putih. Ukurannya antara tiga hingga empat sentimeter tiap ekornya yang sudah dewasa.
Ulat sagu ini sebenarnya larva kumbang penggerek Rhynchophorus ferrugineus, yang biasanya menggerek batang-batang pohon sagu.
Ulat sagu memiliki kandungan protein, tetapi sebagian besar adalah lemak. Ulat sagu menjadi menu tambahan bagi masyarakat pesisir Papua, karena tidak setiap saat dapat dijumpai ulat ini.
Setiap 100 gram ulat sagu, mengandung 181 kalori dengan 6,1 gram protein dan 13, 1 gram lemak.
Olahan makanan berbahan ulat sagu dapat dikreasikan menjadi sate, burger, pizza, sop, nasi goreng ulat sagu, bakso ulat sagu dan keripik ulat sagu.
Di sekitaran Jayapura, ulat sagu bisa didapatkan di sejumlah perkampungan di tepi Danau Sentani. Penduduk menanam pohon sagu, yang memang jadi makanan pokok mereka.
Ciri lain ulat sagu selain dominan warna putih, kepalanya umumnya berwarna gelap. Tekstur daging ulat sagu agak kenyal.
Jika digigit akan keluar cairan dari perut hewan yang satu ini. Ulat sagu memiliki rasa hambar dengan sedikit manis dan gurih.
Ulat sagu biasanya dikonsumsi dalam keadaan masih hidup. Caranya langsung ditelan hidup-hidup. Atau, dibakar terlebih dahulu, dibumbui sedikit garam.
"Cara mengolah tinggal dibakar saja sama dibumbui garam sedikit," kata Delea, salah satu penjual ulat sagu bakar di Sentani.
Ulat sagu umumnya hidup di batang pohon sagu, dan biasa dipanen ketika batang pohon sagu sudah mulai membusuk.
Proses memanennya yakni dengan menebang pohon sagu yang sudah mulai membusuk kemudian membelahnya dengan kapak.