Satu persatu ulat sagu yang ditemukan dikumpulkan oleh masyarakat untuk kemudian dikonsumsi.
Warga Kampung Yoboi di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, telah lama mengenal ulat sagu.
Ulat sagu telah lama mereka konsumsi secara turun temurun, mulai dari generasi nenek moyang.
Orang Sentani menyebut ulat sagu sebagai hem. Pada Festival Ulat Sagu yang digelar selama 25-27 Oktober 2022, warga Kampung Yoboi menunjukkan proses pengambilan hingga pengolahan ulat sagu yang kemudian disajikan kepada para pengunjung.
Ketua Panitia Festival Ulat Sagu Yoboi Billy Tokoro mengatakan, ulat itu diambil dari pohon sagu yang telah lewat dari batas umur panen atau dinyatakan mati.
Ulat itu diambil phon sagu hutan yang tidak dimakan.
“Sagu-sagu jenis inilah yang ditebang. Kemudian dibiarkan dua sampai tiga bulan. Tergantung dari sagu. Lalu dilubangkan pohon sagu, sehingga kumbang bisa masuk dan melakukan proses, maka terjadinya ulat,” kata Billy.
Masyarakat Sentani, khususnya Kampung Yoboi, menganggap proses penebangan pohon sagu merupakan bagian penting.
“Tidak sembarang orang menebang pohon sagu. Biasanya orang yang dipercaya memiliki tangan bagus untuk menebang pohon sagu, karena nanti ulatnya banyak,” ungkap Billy.
Menurut Billy, pohon sagu yang ditebang saat festival berbeda dengan biasanya. Hal ini karena pohon yang ditebang dalam jumlah banyak.
Agar hasil ulat sagu sesuai harapan, kepala suku akan menggelar ritual.
“Biasanya terlebih dahulu kasih tahu (memberitahu) dia (kepala suku). Lalu dilakukan rapat adat, setelah itu kepala suku yang bersangkutan akan merestui untuk dilakukan penebangan pohon sagu,” tuturnya.
“Masyarakat percaya bahwa melalui proses ritual yang dilakukan seperti ini, maka hasil ulat dalam sagu akan banyak dan hasilnya baik,” lanjutnya.
Jamur Sagu