Mengapa Tergerak Menjadi Guide
Sebelum sistem transaksi melalui tiket diterapkan seperti saat ini, pengelola Kampung Adat Bena mengunakan kotak donasi. Mama Emiliana Kopa sendiri pernah menjadi petugas penjaga kotak donasi.
"Waktu itu belum ada guide lokal. Guidenya dari luar. Yang ada itu yah hanya penjaga kotak donasi," ujarnya.
Mama Emiliana Kopa melihat para wisatawan khususnya mancanegara, biasanya memberikan uang kepada guide untuk dimasukan ke dalam kotak donasi.
Namun, ada guide yang menukarkan uang ke kios dan menaruh uang dengan nilai yang lebih kecil ke dalam kotak donasi.
"Misalnya dikasi seratus ribu (oleh wisatawan), itu mereka (guide) kemudian omong dalam Bahasa Inggris lalu pergi tukar uang, yang dimasukan (ke dalam kotak amal) misalnya hanya lima ribu," ujar Mama Emiliana.
Keprihatinan ini pun akhirnya dibahas dalam pertemuan Tim Pengurus Pengelola Kampung Adat Bena, sehingga kemudian diputuskan transaksi menggunakan tiket masuk.
Dari situ mulailah muncul beragam terobosan, misalnya sewa pakai pakaian adat, wisatawan bisa menginap dengan biaya paket harga yang sudah disiapkan.
Ditambah dukungan dari banyak pihak, produk-produk tenun berkembang.
Keprihatinan di atas jugalah yang kemudian membuat Mama Emiliana bertekad menjadi pemandu lokal dengan belajar secara otodidak dan kemudian didukung dengan kelas Bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh sebuah LSM bernama Swiss Contact pada 2011 lalu.
"Saya ikut kelas Bahasa Inggris waktu itu umur saya 40 tahun, total ada 52 orang yang ikut. Ada yang lebih muda dari saya dan lebih tua," kata Mama Emiliana.
Dia mengatakan dari 52 orang, yang menyelesaikan kelas Bahasa Inggris hanya dua orang termasuk dirinya.
Namun yang konsen menjadi pemandu lokal hingga mengantongi sertifikat hanya Mama Emiliana.
Emanuel Soba, Ketua Pengelola Kampung Adat Bena sangat merindukan lahirnya pemandu guide dari kalangan generasi muda Kampung Adat Bena.