TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kampanye hitam alias black campaign nyaris sudah menjadi kelaziman dalam kontes-kontes pemilihan umum. Kampanye semacam ini bersifat menyerang lawan dengan membeberkan kelemahan-kelemahan tak berdasar sehingga mempengaruhi persepsi masyarakat.
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun-Gun Heryanto mengatakan black campaign yang sifatnya mengadudomba memang sudah sejak lama digunakan oleh para pihak yang terlibat dalam kontestasi.
"Dalam perspektif komunikasi politik memang ada dua jenis kampanye yang sifatnya menyerang (attacking campaign)," kata Gun Gun kepada Tribun Jakarta.
Ia menjelaskan, bentuk kampanye negatif yakni menyerang pihak lain melalui sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan. Gun Gun mencontohkan, praktiknya misalkan menohok pihak incumbent dari sejumlah data faktual kegagalan-kegagalan kandidat incumbent selama menjabat di periode pertama kekuasaanya.
"Jenis ini lumrah adanya," ujar Gun Gun.
Sementara jenis kampanye menyerang kedua adalah kampanye hitam yang biasanya bersumber pada rumor, gosip, bahkan menjurus ke implementasi sejumlah teknik propaganda.
"Nah, jenis ini biasanya sulit sekali bisa diverifikasi apalagi diperdebatkan. Yang kedua ini meski sangat sering dipakai, sesungguhnya melanggar aturan kampanye dan tentu saja melanggar etika selain menciderai proses literasi politik selama proses demokrasi elektoral berlangsung," tegas Gun Gun.
Dia meyakini cara-cara black campaign itu tidak akan efektif mengubah perilaku pemilih.
"Terlebih di sebuah area pertarungan dimana margin rational voter atau pemilih rasional lumayan besar seperti di DKI," ujar Gun Gun. (FERDINAND WASKITA)
*Silakan baca edisi selengkapnya dengan mengklik Tribun Jakarta Digital Newspaper