TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Kematian mendadak menjemput Franciskus Refra, akrab dipanggil Tito Kei (41), sosok yang selama ini dikenal akrab dengan dunia premanisme di Jakarta. Adik kandung John Kei tersebut tewas setelah seorang pria melepaskan tembakan ke arah kepalanya, sekitar pukul 20.45 WIB, Jumat (31/5/2013).
Kejadian itu rupanya ternyata tak begitu mengejutkan Paulinus Refra (80), ayah Tito. Dua hari sebelumnya ia mengaku sudah mendapat firasat buruk. Begitu mendapat informasi mengenai penembakan terhadap anaknya, Paulinus langsung bisa menduga nyawa Tito tak akan bisa diselamatkan.
"Saya dibangunkan keponakan tadi (Jumat) malam. Pak Paul, Om Tito kena tembak. Begitu disampaikan informasi itu. Saya bilang, wah pasti bahaya. Ini bahaya, pasti mati," kata Paulinus saat berbincang dengan Tribunnews, di rumah duka, Kompleks Perumahan Titian Indah Blok I No 3, RT 03, RW 10, Medan Satria, Kota Bekasi, Sabtu (1/6/2013) pagi.
Alamat buruk atau firasat itu sebenarnya merupakan bunga tidur Paulinus. "Dua malam lalu saya mimpi. Ada orang bikin bangunan baru di kampung. Orang ramai sekali kumpul. Lalu di mimpi itu, saya bertemu orang berambut panjang. Saya bilang pasti akan ada orang mati, eh ternyata betul," kata dia.
Bukan hanya Paulinus seorang yang mendapat firasat. Seorang kerabatnya, Arnold bermimpi hal serupa. "Arnold juga mimpi seperti saya. Saat saya mimpi seperti itu, pasti akan ada orang mati. Dulu, saat Kris meninggal, mimpi saya juga begitu," kata Paulinus mengenang kematian anak keduanya.
Malam nahas itu, Paulinus tidur di rumah sebelah kanan rumah Tito. Rumah ini baru dibeli keluarga Tito. John Kennedi Kei Refra, kakak Tito, juga tinggal di kompleks yang sama. Kedua rumah berjarak kurang-lebih tiga ratus meter.
Setelah dibangunkan ponakannya, Paulinus menumpang sepeda motor segera menyusul anaknya ke Rumah Sakit Ananda Bekasi.
"Lalu saya berangkat ke RS Ananda, tetapi di tengah jalan menuju rumah sakit, Tito sudah meninggal. Saat saya bertemu di rumah sakit, saya pegangi lehernya, tangannya, dadanya. Sudah lewat," kata laki-laki kekar asal Desa Tutren, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara tersebut.
Paulinus berusaha tabah menghadapi kenyataan. Paul, sapaan Paulinus, coba menghibur diri. "Kita semua akan mati. Kaya atau miskin sama. Mungkin yang miskin masuk surga, sedangkan yang kaya tidak masuk surga," katanya.
Laki-laki usia 80 tahun ini tidak meneteskan air mata saat menerima ucapan belasungkawa dari para kerabat. Badannya yang gempal, tampak masih kuat dan kekar. Hingga pukul 04.00, Sabtu subuh, dia begadang menunggui jenazah Tito tiba di rumah duka.
"Apakah Opa sedih atas meninggalnya Tito, anak bungsu opa," tanya Tribunnews. Paulinus menjawab, "Sedih tapi itu sudah jalan Tuhan. Kita semua akan mati, tinggal waktu yang berbeda-beda." (tribunnews/amb/coz/nic/thf)