News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Praktik Korupsi dengan Pola Bagi-bagi Proyek Masih Berlangsung

Editor: Domu D. Ambarita
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Adnan Pandupraja (kiri) dan Busyro Muqoddas saat menghadiri jumpa pers peluncuran Festival Film Antikorupsi (ACFFest) 2013 di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2013). Film yang dapat diikut sertakan dalam ACFFest berupa film fiksi panjang, fiksi pendek, dokumenter panjang, dokumenter pendek, animasi, serta games animasi dengan bertemakan kejujuran, integritas, transparansi, ataupun perlawanan terhadap korupsi. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG- Korupsi menggunakan pola lama, yaitu membagi-bagi proyek kepada para kroni dan keluarga penguasa masih saja berlangsung. Sebagian besar kroni dan keluarga penguasa mendapat jatah proyek. Demikian hasil pemetaan Indonesian Corruption Watch (ICW) atas tindak korupsi di wilayah Kota Tangerang Selatan, Banten.
 
Demikian diungkapkan Koordinator Badan Kerja ICW J Danang Widoyoko dalam sarasehan kebangsaan di Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Kelapa Dua, Tangerang, Minggu (29/9/2013).  Hadir sebagai pembicara  lain adalah Pengamat Politik dari Pergerakan Kebangsaan  Daryanto, dan dimoderatori Dosen Politik, Universitas Tirtayasa, Banten Ikhsan Ahmad.
 
Danang menjelaskan pola korupsi di Banten menggunakan pola lama dan belum canggih karena cenderung mencuri APBD dan membagi jatah proyek untuk pengusaha, kroni atau keluarga yang dekat dengan penguasa. Ini berbeda dengan pola yang digunakan Nazarudin, bantan Bendahara Partai Demokrat, yang hasil korupsinya digunakan, salah satunya, untuk membeli saham Garuda Indonesia.
 
"Pola korupsi di Banten ini belum canggih dan masih sangat sederhana dan menggunakan pola lama. Berbeda dengan pola korupsi Nazarudin. Pola korupsi di Banten, masih berorientasi pada bagaimana mengalirkan anggaran pemerintah agar bisa masuk ke dalam lembaga pendukung, keluarga atau para kroni dalam bentuk dana bansos atau hibah, " ujar Danang.
 
Pola korupsi, menurut kordinator ICW tesebut, di Indonesia dan luar negeri sangat berbeda. Di luar negeri, pola korupsi lebih  mengarah pada meraup meraup rente dari hasil pembangunan. Di Indonesia korupsi lebih mengarah kepada menggasak keuntungan sebelum dan pada saat melakukan pembangunan.
 
"Hampir seluruh kontraktor dikuasi oleh perusahaan dari Jakarta dan Serang. Dari hasil pemetaan yang dilakukannyanya, bahwa praktik kolusi, korupsi dan nepotisme tersebut sangat rawan. Perusahaan kontraktor yang subur di wilayah tersebut cenderung dekat dengan keluarga penguasa.
 
Sementara itu, Pengasuh Padepokan Kebangsaan, St Ananta Wahana menegaskan padepokannya memang memelopori gerakan antikorupsi segala bidang di wilayah Banten. Beberapa kegiatan seminar dan diskusi antikorupsi sudah digelar.

Ananta mencanangkan gerakan antikorupsi "Lawan Korupsi - Ganyang Koruptor" dan didukung kaum muda Provinsi Banten harus dilakukan demi terpilihnya pemimpin yang bersih pada pemilu mendatang.
 
Daryanto mempertanyakan, apakah bangsa Indonesia masih perlu membicarakan korupsi ? Alasannya adalah, korupsi telah menjadi produk politik - sebagai contoh kasus Hambalang.  Terbongkarnya kasus Hambalang menjadi bukti bahwa korupsi di Indonesia sudah sempurna dan sekaligus merupakan hasil kerja konspirasi antara pemburu rente, politisi dan pembuat kebijakan.
 
"Jadi dapat dikatakan korupsi itu merupakan akar dari permasalahan yang ada di Indonesia saat ini.  Zaman Orde Baru , penguasa pada jaman itu adalah bos rente tetapi sekaligus pengendali para pemburu rente. Namun setelah Orba jatuh, para pemburu rente menjadi bos rente. Sehingga korupsi itu bertujuan untuk mempertahankan kekayaan atau menambah kekayaan," ujarnya.
 
Sebagai solusi, Daryanto menawarkan, untuk membuat aturan apa pun bentuknya yang lebih sederhana pemaknaan secara umum dan sekaligus pemberdayaan masyarakat melawan korupsi. Yang terjadi sekarang ini adalah korupsi bersarang dalam uandang-undang yang lebih rendah, sementara makna dari undang-undang sangat berbelit. Kelemahan itulah tempa bermain para pemburu rente, para politikus," kata Daryanto.  (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini