Dilahirkan di Sampang, Madura, pada 1942, Ahmad Wahib dibesarkan di
lingkungan keluarga yang taat dan terbuka. Selepas lulus dari SMA
Pemekasan, Madura, bidang ilmu pasti, Wahib melanjutkan studi pada
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Di sana ia menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebelum
akhirnya menyatakan diri keluar. Selain HMI, pribadi Wahib banyak
dipengaruhi oleh pergaulannya dengan komunitas Jesuit di tempat ia tinggal
dan keterlibatannya dalam kelompok studi yang dipimpin oleh Mukti Ali,
tempat ia mendiskusikan masalah-masalah keagamaan yang biasanya
pantang didiskusikan.
Pada 1971, Wahib hijrah ke Jakarta untuk bekerja di majalah Tempo sambil mengikuti kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Wahib wafat di usia muda karena kecelakaan pada 30
Maret 1973.
Wahib meninggalkan catatan harian yang diisinya dengan cukup rajin sejak
pertama kali ia tiba di Yogya pada 1961. Catatan-catatanya kian serius pada
penghujung 1960-an, menyangkut berbagai aspek kehidupan budaya,
keagamaan dan politik di Indonesia.
Catatan-catatan Wahib ini kemudian disunting Djohan Effendi, kawan dekat dan koleganya di HMI, dibagi ke dalam beberapa tema, dan diterbitkan pada 1982, dengan judul “Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.” Buku itu segera
mengundang perdebatan pro dan kontra yang beberapa di antaranya
dimasukkan di bagian akhir buku pada cetakan selanjutnya.
Dalam testimoninya di penganugerahan Sayembara Ahmad Wahib
November tahun lalu di Salihara, Goenawan Mohamad menyampaikan
betapa Wahib terus dibicarakan sampai sekarang karena catatannya mewakili
kegelisahan setiap orang.
“Baru kemudian saya tahu setelah membaca pikiran-pikirannya bahwa dia mencerminkan pergolakan pemikiran yang ada dalam diri saya dan mungkin dalam banyak teman yang kadang kita tak
berani mengutarakannya. Jangan-jangan karena Ahmad Wahib tak berani
karena itu dia tulis dalam catatan harian. Setelah diterbitkan baru terbukalah
Ahmad Wahib dan terbukalah pikiran kita."
Wahib memang banyak menuliskan renungan-renungan kritis dalam
catatannya. “Tuhan bisakah aku menerima hukum-hukummu tanpa
meragukannya terlebih dahulu?” tulis Wahib pada 9 Juni 1969. Tetapi meski
kerap melontarkan pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap agama,
Ahmad Wahib tetap merupakan seseorang yang sangat relijius.
Wahib menunjukkan bahwa iman makin dalam justru ketika dipergulatkan dengan
keraguan.
“Dari catatannya kita tahu bahwa hanya orang yang serelijius dia
yang bisa mengerti mengapa orang lain harus dihormati, termasuk orang
yang berbeda,” kata Goenawan.
Di sinilah Wahib relevan, bukan untuk dikultuskan, melainkan untuk
dilampaui oleh lahirnya sosok dan gagasan baru yang pluralis dan toleran.
Dalam rangka itu, Wahib perlu terus diperkenalkan kepada khalayak luas.
Catatan hariannya bisa menjadi sumber inspirasi sekaligus teman diskusi
yang mengajak siapa pun pembacanya untuk berpikir merdeka dan
menghormati mereka yang berbeda.
Atas dasar itulah, Forum Muda Paramadina dengan dukungan dari HIVOS,
berencana melanjutkan kegiatan Sayembara Ahmad Wahib yang telah kami
selenggarakan dua kali pada tahun sebelumnya.
Tahun lalu Sayembara Ahmad Wahib digelar ke dalam kategori esai, blog dan
video, untuk menjaring generasi muda yang kini mengekspresikan pikiran
kritis dan terbukanya melalui berbagai sarana.
Sayembara tahun lalu berhasil menarik 355 pendaftar, masing-masing 153 peserta kategori esai, 181 peserta kategori blog, dan 21 peserta kategori video.
Kontak Panitia:
Forum Muda Paramadina
Alamat: Bona Indah Plaza Blok A2 No D12, Jl. Karang Tengah Raya, Lebak
Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan | email: ahmadwahib@forummuda.com
Telp.: (021) 7655253 | forummuda.com | ahmadwahib.com