Laporan Wartawan Tribunnews.com Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, dikritik karena terlalu cepat mengambilalih penanganan kasus korupsi pengadaan Bus TransJakarta dan bus kota terintegrasi busway (BKTB).
Sejumlah pihak menilai, ketangkasan Kejagung dalam menangani kasus itu memiliki tendensi politik.
Apalagi, kasus itu mulai mencuat setelah Gubernur DKI Jakarta Joko "Jokowi" Widodo menjadi bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sentimen tersebut, semakin menguat setelah Kejagung secara cepat menetapkan dua pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Drajat Adhyaksa dan Setyo Tuhu, sebagai tersangka.
Namun, berbagai tudingan itu dibantah oleh Jaksa Agung RI Jaksa Agung Basrief Arief .
"Tidak ada sama sekali muatan politis, jadi proses ini tetap berjalan," kata Basrief Arief di kantor Kejagung RI, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2014).
Menurutnya, cepatnya penangangan pihaknya justru karena kasus itu tidak memiliki nilai jual secara politis, baik untuk Pemilu legislatif 9 April maupun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014.
Basrief menuturkan, Kejagung sengaja menunda penanganan sejumlah kasus korupsi saat pemilu hendak dilaksanakan. Itu untuk menghindari kecurigaan dan potensi adanya politisasi terhadap kasus.
"Tapi khusus kasus korupsi pengadaan busway, sama sekali tidak ada muatan politis, sehingga kami tetap melanjutkannya meski pemilu tengah berlangsung," terangnya.
Untuk diketahui, penyidik menemukan adanya penggelembungan harga (mark up) dalam pengadaan armada bus Transjakarta senilai Rp1 triliun, dan pengadaan bus untuk peremajaan angkutan umum reguler senilai Rp 500 miliar.
Kejagung, sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Keduanya antara lain ialah, Drajat Adhyaksa sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam dua program pengadaan tersebut.
Selain Drajat, Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi 1 Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Setyo Tuhu, juga dijadikan tersangka.