TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nasib Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Tahun 2015 akhirnya dikembalikan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah DPRD DKI tidak memberikan persetujuan atas hasil pembahasaan evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Pengamat Populi Center Nico Harjanto melihat panasnya pembahasan RAPBD antara Ahok dengan DPRD DKI dikarenakan adanya kepentingan partai. APBD dianggap sebagai sebuah alat untuk mencari dana dalam rangka membiayai partai.
"Politik anggaran merupakan mainan politik setelah Pemilu karena jabatan hanya menjadi akses. Sehingga keuangan daerah dan negara sebagai sumber untuk mendapatkan anggaran guna menutupi biaya politik," ungkapnya dalam diskusi Perspektif Indonesi di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/3/2015).
Dijelaskan dia, ada dua pemahaman dalam masyarakat melihat APBD. Pertama, APBD dilihat sebagai anggaran administrasi pemerintah mulai dari pemasukan, pengeluaran, dan belanja. Kedua, APBD dilihat sebagai kebebasan berekspresi.
Dikatakan Nico, kebebasan berekspresi hanya dapat direalisasikan bila anggota dewan mendapatkan uang sebagai perwakilan rakyat.
"Uang adalah aspirasi. Maka wakil rakyat merasa paling berhak atas uang itu dari mana dan untuk ke mana. Mereka yang paling gencar menerima dan menghambat," ujarnya.
Untuk peristiwa kisruh APBD di DKI Jakarta, Nico melihat bahwa APBD lebih condong kepada pemahaman APBD dilihat sebagai kebebasan berekspresi. Sehingga sesuatu yang wajar bila pembahasan RAPBD DKI Tahun 2015 berlangsung alot.
"DPRD tidak akan mengesahkan sebelum kepentingannya masuk," katanya.