News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gejolak Rupiah

Rupiah Lemah, Sebagian Pedagang Glodok Menutup Toko dan Kurangi Karyawan

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pedagang elektronik menunggu pembeli di tokonya di kawasan Glodok, Jakarta, Selasa (25/8/2015). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kini menembus level 14.000 berdampak pada kenaikan harga barang elektronik serta lesunya daya beli masyarakat. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivitas perdagangan di pusat elektronik Glodok City, Jakarta Barat, beberapa bulan terakhir lesu. Terlebih saat nilai dollar Amerika Serikat terhadap rupiah makin menguat. Para pedagang menaikkan harga barang 20-30 persen dan tingkat penjualan pun menurun.

Adi (30), karyawan toko Star Jaya, Glodok City, Selasa (25/8), mengatakan, harga barang elektronik, seperti monitor, laptop, kamera pemantau (CCTV), mikrofon, sound system, dan kamera, naik 20-30 persen dari harga sebulan sebelumnya. Harga laptop merek Lenovo ukuran 14 inci sebulan lalu Rp 3,2 juta. Setelah nilai tukar dollar Amerika Serikat menguat, harganya mencapai Rp 3,5 juta.

"Sebagian besar produk di sini impor dari Tiongkok. Harga produk mengikuti pergerakan nilai tukar dollar AS," ujar Adi.

Jenu (40), pembeli dari Cililitan, Jakarta Timur, ingat harga seperangkat sound system yang ia beli naik sekitar 20 persen daripada beberapa bulan lalu.

Menurut Adi, pelanggan di tokonya tak hanya berasal dari Jakarta, tetapi dari seluruh Indonesia. Sebelum nilai tukar dollar AS menguat, denyut perdagangan di Glodok City sudah melemah. Ini akibat persaingan dengan pusat perbelanjaan lain dan toko dalam jaringan (daring).

Omzet penjualan toko Star Jaya turun karena pembeli menahan diri berbelanja barang elektronik. Juli-Agustus ini, omzetnya sekitar Rp 50 juta, turun dari sebelumnya Rp 100 juta.

Pengurangan karyawan

Ketua Paguyuban Pedagang Glodok City Muhammad Ridwan mengatakan, beberapa pedagang memilih hengkang dari Glodok City dan pindah ke lokasi lain yang harga sewanya lebih murah. Sebagian lagi mengurangi jumlah karyawan.

"Dari 200 pedagang yang ikut paguyuban, sekitar 0,5 persen menutup tokonya. Anda bisa lihat, beberapa kios tutup dan disegel pemilik gedung," ujarnya.

Ridwan, yang sehari-hari berjualan masakan padang di lantai 3, awalnya memiliki lima karyawan. Karena omzet terus turun, ia memecat karyawan itu.

Sekarang, ia mempekerjakan anak dan istrinya untuk menjalankan usaha. Ridwan sudah puluhan tahun berjualan di Glodok dan memiliki beberapa kios yang disewakan kepada pihak lain.

"Dulu, sehari saya bisa dapat Rp 3 juta-Rp 4 juta. Sekarang paling Rp 2 juta. Padahal, gaji karyawan Rp 1,5 juta. Akhirnya pekerjakan keluarga sendiri saja," ujarnya.

Paguyuban berharap pemerintah memberikan bantuan atau insentif untuk menyiasati kelesuan ekonomi ini. Saat ini, fasilitas pendukung pasar, seperti pendingin ruangan (AC), empat tahun terakhir ini rusak. Paguyuban sudah menyampaikan kerusakan itu kepada pengelola pasar, tetapi belum direspons.

Asisten Manajer Usaha dan Pengembangan Pasar Glodok City Aswan menuturkan, ada 900 pedagang yang berjualan di Glodok City. Total kios yang tersedia di pasar itu mencapai dua kali lipatnya atau 1.880 kios. Pasar ini beroperasi sejak 2001.

Bahan pangan mahal

Kelesuan ekonomi tidak hanya terasa di Glodok. Warga Ibu Kota setelah Lebaran hingga kini harus menanggung biaya pembelian bahan pangan yang mahal.

Heriyatna, penjual sayur keliling di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, kemarin, mengatakan, harga jual hampir semua jenis sayur dan lauk mentah bertahan tinggi sejak setelah Lebaran. "Kalau kemarau seperti sekarang, panen sayur berkurang," ucapnya.

Dia mencontohkan, harga cabai rawit merah naik dari Rp 30.000 menjadi Rp 80.000 per kg. Harga buncis dari Rp 13.000 menjadi Rp 20.000 per kg. Harga tempe dari Rp 2.000 menjadi Rp 3.000 per potong. Ayam masih bertahan Rp 35.000 per ekor dan daging sapi Rp 120.000 per kg.

Harga tahu tempe naik meski harga kedelai impor (sebagai bahan dasar pembuatan tahu tempe) belum terpengaruh nilai tukar mata uang yang tembus Rp 14.000 per dollar AS. Harga kedelai belum melampaui kondisi normal Rp 7.250 per kg. Industri tahu tempe belum terpukul biarpun pengusaha cemas.

Ketua Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia Bogor Mochtar Sarie, Selasa, mengingatkan, pelemahan nilai tukar rupiah bisa mengguncang industri tahu tempe. Mochtar melihat dari kondisi 2013 saat terjadi paceklik kedelai impor berbarengan dengan nilai tukar saat itu, Rp 13.000 per dollar AS. (DEA/ART/BRO)

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Rabu, 26 Agustus 2015, dengan judul "Usaha Warga Mulai Terimbas".

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini