TRIBUNNEWS.COM - Senyum Indah Setiawati (23) mengembang begitu keluar dari kantor BPJS Ketenagakerjaan Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (7/10).
Dana jaminan hari tua yang ia nantikan selama sebulan akhirnya cair. Sejenak, urusan dapur jadi aman.
Dana yang sebetulnya diproyeksikan untuk dinikmati pada masa pensiun kelak terpaksa dicairkan lebih dini karena impitan ekonomi.
"Alhamdulillah, tinggal menunggu dana ditransfer ke bank. Beban hidup bisa berkurang sedikit," kata Indah yang ditemani suaminya, Mulyani (28), di halaman kantor BPJS Ketenagakerjaan Cikarang.
Indah mendatangi kantor BPJS di kawasan industri Jababeka pada 4 September silam, tiga hari setelah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua diberlakukan.
Setelah mengisi formulir pendaftaran, Indah diminta datang kembali ke kantor BPJS, Rabu, dengan membawa seluruh persyaratan pencairan dana jaminan hari tua (JHT).
Indah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Desember 2012 setelah bekerja selama dua tahun di perusahaan pencetakan logam. Dia bergegas mengurus pencairan JHT begitu mengetahui ada perubahan peraturan dari pemerintah.
Aturan terbaru dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 yang menyebutkan peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat mencairkan dana jaminan hari tua sebulan setelah terkena PHK.
PP ini merevisi PP No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT yang mencantumkan pencairan JHT pekerja yang terkena PHK dapat dilakukan setelah pekerja memasuki usia 56 tahun atau masa pensiun.
"Mumpung ada kebijakan seperti ini, lebih baik dana langsung dicairkan. Takutnya nanti aturannya diubah lagi," kata Indah.
Saldo dana JHT Indah sebesar Rp 3,7 juta. Dia mengakui, uang itu akan digunakan untuk melunasi utang dan memenuhi kebutuhan hidup bulanan.
"Kalau hanya mengandalkan gaji dari suami setiap bulan, ya, masih kurang. Apalagi, harga bahan pokok terus naik," ucapnya.
Setelah Indah terkena PHK, hanya gaji Mulyani yang menjadi sandaran hidupnya dan putrinya yang masih berusia dua tahun. Bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik rem di Cikarang, Mulyani berpenghasilan Rp 3,3 juta per bulan.
Dalam sebulan, Indah dan Mulyani harus membayar kredit pemilikan rumah Rp 800.000, biaya listrik dan air Rp 200.000, belanja kebutuhan rumah tangga Rp 1,5 juta, dan kebutuhan anak yang fluktuatif.