TRIBUNNEWS.COM - Malam itu dingin dan berangin. Saya dan teman saya telah bertemu sepanjang malam ini dan mengobrol selama berjam-jam. Kami tidak menyadari ketika melihat jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kami pun memutuskan untuk mencegat bajaj yang akan mengantar ke rumah kami.
Hujan mulai turun, kami pun bergegas mencari bajaj untuk kembali ke rumah. Tapi, tak satupun bajaj yang berhenti, kecuali satu.
Sopir bajaj bertanya tujuan kami dan kami memberitahu tujuan kami. Tanpa berbicara apapun tentang tarif, katanya, “Silakan!” Kami juga berterima kasih kepada sopir karena akhirnya ada bajaj yang berhenti untuk kami.
Karena saat itu cuaca sangat dingin, saya meminta sopir bajaj untuk berhenti di sebuah warung teh. Kami ingin meminum secangkir teh panas. Sopir berhenti di dekat sebuah warung teh.
Kami memesan teh, dan meminta sopir bajaj untuk bergabung bersama kami dan minum secangkir teh. Sopir itu menolak. Kami bersikeras memintanya untuk mengambil secangkir teh itu untuk menghangatkannya.
Sekali lagi sopir menolak untuk minum teh. Akhirnya, seorang dari kami bertanya, “Mengapa Anda tidak ingin minum teh dari warung ini atau apa?”
Sopir bajaj itu menjawab, “Tidak, Pak! Saya merasa tidak ingin minum teh sekarang.”
Saya bertanya lagi, “Tapi, mengapa? Secangkir teh tidak akan merugikan.”
Sopir bajaj itu dengan tersenyum menjawab, “Terima kasih Pak, tapi maafkan saya.”
Teman saya bertanya lagi, “Apakah Anda memiliki kebiasaan tidak akan jajan?”
Sopir bajaj itu menjawab, “Oh, tidak!”
Teman saya menjadi marah dengan sopir itu dan berkata, “Anda pikir kami tidak mau berbagi secangkir teh dengan Anda?”
Sopir itu tetap diam dan tidak pernah menjawab. Saya benar-benar terkejut dengan perilakunya dan meminta teman saya untuk tidak memaksanya lagi.
Dalam waktu 15 menit kemudian, kami sampai di rumah kami. Kami membayar ongkos dan sopir bajaj itu mengucapkan terima kasih. Namun, saya masih ingin tahu apa alasannya menolak untuk minum teh bersama kami.