TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebutuhan kayu di Indonesia yang bersifat masif pada saat ini sebagian besar didatangkan dari Eropa.
Hal ini disebabkan karena hutan di Indonesia rusak dan membutuhkan waktu lama untuk menjadi hutan produksi.
Sebagai contoh, jati emas dan mahoni membutuhkan waktu 15 tahun untuk berproduksi.
Kalimantan yang dikenal sebagai penghasil kayu tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu.
Demikian dijelaskan Pastor Teguh Santosa SJ, Direktur Sekolah Kejuruan Perkayuan PIKA, Semarang dalam jumpa pers di SMA Kanisius, dalam rangka acara LARI EKSTREM 64 KM yang diselenggarakan Cannirunners dari Perhimpunan Alumni Kolese Kanisius Jakarta (PAKKJ), Jumat (27/11/2015).
Hadir dalam acara tersebut, Glenn Sbastian (Ketua Panitia LARI EKSTREM Canirunners), Juaniato Tiwow (Ketua PAKKJ), Mico Tanbrata (Ketua Canirunners), Daisy Chahyadi dan Adrian Chahyadi yang keduanya adalah pelari ekstrem.
“Kebutuhan kayu Indonesia yang sifatnya masif dipasok dari Eropa karena Kalimantan dan pulau penghasil kayu hutan lainnya tidak dapat memenuhi kebutuhan."
"Sementara Jawa telah mampu memberi kontribusi yang signifikan terhadap kebutuhan kayu. Alasan utama adalah, masyarakat Jawa sudah mengenal sistem tanam dan tebang yang menyesuaikan dengan kebutuhan pasar,” ujar Teguh Santosa.
Menurut pastor yang berasal dari Wonosobo ini, dalam perjalanan sejarahnya yakni sejak didirikan tahun 1972 oleh Br Paul Wiederkehr SJ, sebelumnya merupakan bengkel kerja (workshop) dipelopori oleh Br Haeken SJ pada tahun 1953.
PIKA telah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan industri furnitur (mebel) yang sangat membutuhkan tenaga ahli desain.
Semarang, demikian dijelaskan, adalah pusat pembuatan furnitur terbesar di Indonesia sehingga volume kebutuhan kayu oleh industri tersebut sangat terpantau.
“Lulusan ahli desain dan teknik furniture adalah keunggulan yang dimiliki oleh PIKA. Bahkan kebutuhan akan dua bidang keahlian ini akan bertambah, jika MEA sudah berlaku secara efektif."
"Citra menjadi tukang itulah yang sebenarnya harus dihapuskan dari pendidikan kejuruan seperti PIKA,” ujarnya.
Selain mendapatkan pendidikan secara teknis di bidang permebelan, para siswa juga diajarkan budaya menanam serta memelihara pohon.
Pada saat ini PIKA bekerja sama dengan Trees For Trees, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memfokuskan diri pada pengeluaran surat sertifikasi legalitas kayu dari aspek penyelamatan lingkungan.
Kerjasama meliputi proses penanaman dan perawatan hingga produksi kayu secara detail termasuk di dalamnya pemilihan status lahan yang tepat untuk menghindari konflik horizontal ketika panenan tiba.
Pada saat ini, dengan bantuan teknologi, setiap pohon yang ditanam dapat dilihat pertumbuhannya melalui CCTV sehingga illegal logging dapat dihindari.(*)