Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana merupakan sosok yang sejak awal menolak membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) soal reklamasi.
Fraksi PPP masih menolak untuk membahas kelanjutan Raperda itu.
Dua Raperda ttersebut diantaranya Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.
Penolakan sejak awal bukan tanpa alasan.
Lulung mengatakan proses pembahasan yang diusulkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu saat baru dibahas sudah banyak penolakan.
"Baru dibahas masyarakat datang. Masyarakat pesisir pantai. Mereka minta keadilan segala macam, saya terima dua kali," ujar Lulung di Gedung DPRD DKI Jakarta Pusat, Selasa (5/4/2016).
Lulung langsung berinisiatif untuk membedah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Langsung saya bedah UU Nomor 30 Tahun 2014. Bila mana kebijakan pemerintah berdampak kepada masyarakat, tentu masyarakat jangan dijadikan objek, harus dijadikan subjek. Reklamasi ini berdampak luas," ungkap Lulung.
Lulung juga membedah Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 yang diamandemen menjadi UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dalam Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurutnya penerapan UU tersebut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hasilnya nihil.
Dapat dilihat dalam pengelolaan Kepulauan Seribu oleh Pemprov DKI Jakarta.
Sampai saat ini belum ada dampak positif terhadap warga di sana.
"Pulau Seribu itu dikelola loh sama pemerintah, ada bupatinya. Nah, kenapa dikelola? Kemudian, kalau ada dampak pembangunan di situ, masyarakatnya harus lebih sejahtera, tapi hari ini apa?" kata Politilus PPP tersebut.
"Karenanya aspirasi ini PPP melihat dan kami menyatakan sikap dalam pandangan umum fraksi, kami menolak reklamasi dan zonasi. Jadi sejak awal tuh," kata Lulung.
Dua kali sidang paripurna soal Raperda reklamasi, dua kali batal.
Alasannya, anggota DPRD DKI yang hadir tidak pernah kuorum, sehingga selalu batal disahkan.
Di tengah-tengah pembahasan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Ketua Komisi Pembangunan DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.
Dia diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.
Diduga suap itu demi memuluskan pengesahan Raperda tersebut.