TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI), Firdaus Ali mengatakan, teknologi reklamasi yang diterapkan untuk Teluk Jakarta masih sangat layak dan cocok.
Karena itu, kritikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda bahwa rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau dan membentuk Giant Sea Wall sebagai ide yang ketinggalan zaman, dinilai sangat tidak berdasar.
Firdaus Ali mengatakan, pada tahun 1953, terjadi banjir hebat dan gelombang tinggi di Belanda, menewaskan sekitar seribu orang.
Pemerinah Belanda kemudian membangun tanggul raksasa dan masalah banjir selesai sejak saat itu.
"Jika ada anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di Belanda, mereka merasa sudah tahu banyak, padahal sebenarnya mereka tahunya sedikit. Saya juga dulu seperti itu, maklum mahasiswa yang sedang sekolah di luar negeri," katanya di Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Firdaus mengatakan, kalau mereka menilai teknologi yang dipakai Belanda itu sudah kuno, ya itu karena masalah di sana sudah selesai 60 tahun lalu.
Tetapi anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di Belanda itu lupa bahwa teknologi yang mereka bilang kuno itu masih sangat layak dan baru untuk Jakarta.
"Teknologi yang ada saat ini adalah tanggul laut, tidak ada yang lain. Itu memang konsep kuno yang saat ini tetap dipakai dan belum ada teknologi baru menggantikan ini," katanya.
Salah Terminologi
Firdaus juga mengatakan bahwa secara terminologi reklamasi dengan Giant Sea Wall dengan National Capital Integrated Costal Development (NCICD) adalah dua hal yang berbeda.
Reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, untuk menguruk laut untuk menjadikan ruang daratan baru guna menambah daya tampung dan daya dukung daratan.
Di kota-kota besar di dunia seperti Singapura, New York, dan sebagainya pantai-pantai dibuat reklamasi.
"Karena kebetulan Teluk Jakarta sudah tercemar maka proses reklamasi bisa membuat pantai menjadi bersih," katanya.
Sementara National Capital Integrated Costal Development (NCICD) yang dipakai Belanda karena permukaan tanah Jakarta terus menurun dan air laut naik 5-6 mili per tahun karena dampak pemanasan global.