News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Siswa SD Sevilla Ini Tewas Tenggelam di Kolam Renang Sekolah, Setahun Lebih Kasusnya Menggantung

Penulis: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orangtua Gaby, siswa tenggelam di kolam renang sekolah Sevilla School di Kembangan, Jakarta Barat, saat menggelar konferensi pers di kantor Komnas Perlindungan Anak, Jakarta, Selasa (8/11/2016).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-  Kasus siswa tenggelam di kolam renang di Sevilla School, Kembangan, Jakarta Barat, sudah setahun lebih menggantung di kepolisian dan kejaksaan.

Berkas perkara kasus ini belum kunjung dinyatakan lengkap atau P21, sehingga belum kunjung disidangkan.

Gabriella Sherly Howard (8 tahun) tewas tenggelam di kolam renang sekolah saat jam pelajaran berenang, Kamis, 17 September 2015.

Diduga tenggelamnya bocah yang semasa hidupnya disapa Gaby ini, karena kelalaian pihak sekolah, utamanya guru olahraga yang mengawal Gaby dan teman-temannya saat jam pelajaran berenang.

Dalam konferensi pers di kantor Komnas Perlindungan Anak, di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (8/11/2016), orangtua Gaby, Verayanti mengatakan, sudah setahun lebih kasus ini menggantung di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat dan di Polres Metro Jakarta Barat.

"Pengusutan kematian putri kami sudah lebih dari satu tahun. Namun berkasnya belum kunjung naik ke pengadilan. Makam anak kami sudah juga dibongkar, mayatnya juga sudah di autopsi. Padahal kami kan tidak mau, diautopsi kan kepalanya digergaji, kami nggak mau sebenarnya," kata Verayanti sambil terisak memaparkan peristiwa yang dialami putrinya.

Yang membuat pihak keluarga Gaby prihatin, polisi sampai saat ini belum menahan guru olahraga yang diduga lalai mengawasi Gaby dan siswa lain saat jam pelajaran sekolah.

Yang bersangkutan menurut Verayanti hingga kini bebas di luar tahanan. Bahkan, yang bersangkutan berkeliaran meski sudah menjadi tersangka.

Guru olahraga tersebut masih bebas mengajar di sekolah lain, termasuk kegiatan membuka usaha kafe.

"Saya sebagai orang tua tahu, anak saya tidak akan bisa kembali lagi, tapi kami ingin keadilan ditegakkan agar kejadian ini tak terulang lagi. Kami tahu, sekolah Gaby milik sebuah perusahaan bssar, tapi kami selalu berdoa, ada kuasa Tuhan," kata Verayanti.

Dia juga membantah putrinya meninggal karena sakit epilepsi.

"Kami prijatin, sempat tersebar fitnah anak saya tenggelam karena epilepsi. Padahal faktanya dia tenggelam karena menolong temannya. Temannya selamat karena berhasil menarik baju temannya yang lain. Saya ingin perjuangkan ini agar saat ajal saya tiba saya tak ada utang kepada Gaby. Kami ingin pastikan fitnah itu bisa kami patahkan," imbuhnya.

Dia menambahkan, waktu hari nahas, verayanti mengaku mengantar sendiri Gaby ke sekolah.

"Sebelum masuk sekolah Gaby minta cium, "Ma cium. Lalu saya menciumnya, lalu masuk sekolah. Hanya berselang dua jam saya dapat kabar anak saya sakit. Ternyata anak saya sudah dibawa ke RS Puri. Saya antar anak saya dalam kondisi sehat, tapi begitu tiba di sekolah anak ini dalam kondisi begini," ungkapnya.

Di mata Verayanti, Gaby adalah anak periang. "Dia suka menolong temannya. Dia  pernah dapat sertifikat dari sekolahnya bulan Juni 2015 karena menolong temannya. Lima bulan sebelum kejadian," lanjutnya.

Dari keterangan para saksi, Verayanti mengatakan, pihak sekolah tidak cepat menangani putrinya saat peristiwa terjadi.

Saat dievakuasi dari kolam renang sedalam 1,4 meter, "dada anak saya ditekan-tekan, pembuluh darahnya pecah. Seharusnya penanganannya, badan anak diangkat, dibalikkan badannya kepala di bawah agar air bisa keluar dari paru-parut," kenangnya.

Asip, ayah almarhum Gaby menyayangkan sikap sekolah yang hingga kini tidak menyampaikan permintaan maaf kepada keluarganya atas kelalaian guru sekolah.

"Sampai saat ini guru olahraganya belum pernah datang kepada kami untuk meminta maaf. Pihak sekolah juga tidak pernah meminta maaf kepada kami, juga pemilik sekolah, seorang pengusaha besar juga tidak pernah meminta maaf kepada kami. Gurunya olahraganya, Ronaldo Ratulete tetap bebas," kata Asip.

Menurut Asip, koordinator kurikulum sekolah yang menetapkan satu guru olahraga menjaga 15 siswa di sekolah juga harus ikut bertanggung jawab. "Direktur sekolahnya hanya mengatakan ini musibah. Apakah moralitas sekolah seperti ini?" kata Asip.

Ketua Komisi Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya pernah mengekspos kasus ini setahun lalu. Namun dia menilai penegak hukum memang lambat menuntaskan pengusutan kasus ini. "Ini melanggar UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak," kata Arist Merdeka Sirait.

"Hasil otopsi dokter menyimpulkan Gaby meninggal karena tenggelam di kolam renang sekolah. Surat dari Dinas Pendidikan juga menyatakan Gaby meninggal di sekolah, di kolam renang yang bukan seharusnya untuk anak anak seusia Gaby," kata Arist.

"Ketika guru bersangkutan mendapat pemberitahuan Gaby tenggelam, dia tidak segera melakukan tindakan penanganan cepat," ujar Arist..

Atas laporan ini, Arist menyatakan, Komnas Perlindungan Anak akan meminta klarifikasi ke Kejaksaan Jakarta Barat dan Polres Metro Jakarta Barat, untuk mengecek apa sebenarnya kurang dari materi berkas perkara dan belum dipenuhi polisiu.

"Proses berkas menjadi P21 tidak boleh lebih dari 14 hari harus sudah diproses," tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini