TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -– Kasus penggelapan investasi yang melibatkan warga negara asing memunculkan fakta baru. Terdakwa Gordon Gilbert Hild, warga negara Jerman, mengakui bahwa dia menggunakan uang investasi dari korbannya, Yenny Sunaryo, untuk membeli rumah di Selandia Baru.
Uang itu diambil dari rekening Ismayanti, istrinya yang juga berstatus terdakwa dalam kasus serupa, untuk digunakan membeli rumah pada tahun 2013 lalu.
“Dari rekening Ismayanti memang dipakai untuk beli rumah di New Zealand (Selandia Baru),” kata Gordon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 9 Januari 2017. Dalam persidangan lanjutan tersebut, baik Gordon maupun Ismayanti, sama-sama diminta keterangannya sekaligus sebagai saksi dan terdakwa. Persidangan itu juga memperkuat fakta-fakta yang sudah terungkap dalam persidangan sebelumnya.
Soal rumah di Selandia Baru, terdakwa Ismayanti juga mengakui bahwa uang sebesar Rp 8,5 milyar milik Yenny digunakan untuk membeli satu unit rumah di Negara Kepulauan tersebut. Hanya saja dia mengklaim bahwa penggunaan uang itu sudah dengan sepengetahuan Yenny sebagai pemilik uang. “Dan itu bukan untuk beli rumahnya, tapi hanya sebagai DP (uang muka) saja,” ujar Ismayanti.
Fakta lain yang juga terungkap dari persidangan tersebut adalah adanya total nilai investasi yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Nilai total investasi yang awalnya disepakati Rp 15,6 milyar ternyata berubah di tengah kesepakatan. Namun baik Gordon maupun Ismiyanti menyatakan penambahan itu juga sudah sepengetahuan Yenny.
Yang ironis, keduanya justru balik menuding bahwa Yenny melalaikan kesepakatan lantaran tidak mau memenuhi investasi yang sudah disepakati. Mereka menyatakan Yenny semestinya menginvestasikan uang Rp 1,5 milyar lagi sebagai bukti komitmen dalam kerja sama tersebut. “Dan ketika dia melaporkan kasus ini, kami juga siap mengembalikan uang investasi itu, tapi dia (Yenny) yang tidak mau,” kata Ismayanti.
Majelis hakim yang dipimpin hakim Made Sutrisna pun mencecar kedua terdakwa soal kesepakatan tersebut. Terdakwa juga dicecar soal alasan belum adanya perusahaan atau PT sebagai komitmen terdakwa dalam perjanjian tersebut. Made Sutrisna pun menimpali, “Bagaimana pelapor (Yenny) mau melunasi investasi kalau saudara tidak juga membuat PT seperti yang disepakati,” kata Made.
Adapun Jaksa Penuntut Umum Umriani menyatakan apa yang disampaikan oleh terdakwa tidak sesuai dengan bukti-bukti dalam persidangan sebelumnya. Namun tim penuntut tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, terdakwa juga memiliki hak ingkar dan hak membela diri dalam persidangan. “Bahkan dia juga berhak untuk diam dan tidak menjawab apapun atas pertanyaan yang disampaikan, dan semua itu sah serta diatur sesuai hukum,” ujar Umriani.
Hanya saja dia menyatakan hampir semua keterangan terdakwa bisa dengan mudah dibantah secara hukum dan bukti yang ada. Pengakuan terdakwa bahwa uang investasi yang digunakan untuk membeli rumah menjadi salah satu bukti bahwa keterangan terdakwa juga memperkuat bukti penipuan dalam kasus ini. “Itu juga semakin memperkuat saja karena ada penggunaan uang yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” kata Umriani.
Pengacara Yenny, Tomy Alexander, menyatakan kedua terdakwa tidak memberikan keterangan yang benar dalam persidangan. Tomy menyebut niat terdakwa untuk mengembalikan uang investasi kepada kliennya merupakan imajinasi dari kedua terdakwa saja. “Hubungan klien saya dengan terdakwa kan cukup akrab sebelumnya, kalau memang mau mengembalikan kasus ini tidak akan sampai ke pengadilan,” ujar Tomy.
Kasus penipuan investasi itu berawal dari kerja sama yang ditawarkan pasangan suami istri Gordon dan Ismayanti kepada Yenny Sunaryo. Mereka mengajak Yenny untuk membangun villa Kelapa Retreat II di Pekutatan, Negara, Bali Barat. Namun belakangan Yenny malah kehilangan haknya dalam investasi tersebut dan justru tidak dianggap memiliki bagian meski sudah menginvestasikan uang Rp 8,5 milyar.
Akibat perbuatan tersebut, terdakwa Gordon dan Ismayanti dijerat dengan pasal berlapis. Mereka dianggap melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Pasangan suami-istri itu pun terancam hukuman empat tahun penjara. Persidangan pekan depan pun rencananya bakal dilanjutkan dengan agenda tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.