Hanya saja, ia kuatir terhadap kesehatan anak-anaknya. Pasalnya, setiap banjir datang, anaknya selalu sakit. "Anak saya kalau ga gatal-gatal ya demam, badannya panas. Yang saya kuatirkan itu saja," imbuhnya.
Tanpa solusi
Juanda mengatakan, banjir di kawasan tersebut sudah terjadi sejak 1996. Banjir paling parah terjadi pada 2007 dan 2013.
Saat itu, Juanda ingat betul ketika banjir setinggi tujuh meter menenggelamkan perkampungan.
"Warga hanya trauma itu saja. Dulu rumah-rumah tingkat saja sampai tenggelam," ujarnya.
Sejauh ini kata Juanda belum ada solusi yang diberikan oleh pemerintah, meski hanya membuat tanggul sementara agar luapan Kali Ciliwung tak masuk ke perkampungan.
Rencana normalisasi Kali Ciliwung di kawasan itu pun belum jelas kapan dilaksanakan.
Padahal, kata Juanda, warga telah lama menyerahkan data beserta surat-surat kepemilikan rumah kepada Pemkot Administrasi Jakarta Timur untuk dilakukan verifikasi terkait penggantian ganti rugi lahan.
Sampai saat ini, imbuhnya, belum ada kabar lanjutan dari BPN Jakarta Timur soal proses validasi itu.
"Ada sekitar 80 dokumen yang kami kasih ke BPN Jaktim untuk bangunan yang terdampak normalisasi. Kebanyakan surat tanah adat, girik. Tapi sampai saat ini belum ada kabar."
Justru, imbuhnya, banyak oknum tidak dikenal yang memanfaatkan situasi itu dengan menjanjikan warga bisa mendapatkan ganti rugi dengan membayar sejumlah uang.
"Ada sejumlah orang datang ke sini menemui warga dan menjanjikan mereka dipastikan mendapat ganti rugi. Ini justru banyak orang mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Padahal warga hanya meminta kejelasan saja," ujarnya.
Mengingat musim hujan masih berlangsung, Juanda mewakili aspirasi warga meminta supaya Pemerintah Kota Jakarta Timur membuatkan tanggul sementara supaya warga bisa lebih tenang.
Penulis: Feryanto Hadi