Neneng mengaku kecewa dengan keputusan sang ustaz yang ia kenal sejak kecil itu.
Kata dia tidak mungkin sore itu tidak ada warga yang mau membantu menshalatkan sang ibunda.
Namun ia memilih untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut, dan fokus untuk segera memakamkan jenazah sang ibunda.
Yang juga membuatnya kecewa adalah sikap Ketua RT Abdul Rahman.
Pasalnya sang ketua RT tidak membantunya mengurus berkas-berkas terkait kematian sang ibunda.
Ketua RT tersebut juga tidak ikut mengantar almarhum Hindun ke pemakaman.
"Surat-suratnya saya yang urus sendiri, tapi alhamdulilah nggak ada masalah di kuburan," ujarnya.
"Ambulans juga bukan dari RT sini, tapi dari RT sebelah," katanya.
Namun sampai saat ini ia belum pernah mengklarifikasi langsung ke sang ustaz, apakah usulan agar sang ibunda dishalatkan di rumah dikarenakan pilihan almarhum pada 15 Februari lalu.
Ia juga tidak mengklarifikasi hal itu ke ketua RT. Neneng mengaku terlalu kecewa untuk menemui mereka kembali.
"Pokoknya saya tidak mau urusan sama mereka lagi, saya juga belum pernah ketemu mereka lagi setelah pemakaman," katanya.
Bagaimana warga tahu pilihan almarhum, hal itu dikarenakan pada 15 Februari lalu almarhum tengah terbaring sakit, sehingga petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) menyambangi almarhum ke rumah.
Pada saat itu semua petugas TPS, termasuk keluarga, bisa menyaksikan langsung pasangan mana yang dicoblos almarhum Hindun.
Ditemui dalam kesempatan terpisah, Ahmad Safi'i mengatakan alasannya menyarankan Neneng agar sang ibunda tidak dishalatkan di musholla, adalah karena kendala teknis.
Kata sasat hendak dishalatkan kawasan Setiabudi memang tengah turun hujan deras.
"Hujan deras waktu itu, saya bilang di rumah saja. Saya tanggungjawab kok, yang yang urus semua, sampai cari ambulans, di kuburan juga saya yang mengurus," ujarnya.