TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, menyerukan enam hal jelang pemungutan suara Pilkada DKI putaran dua, 19 April 2017.
Menurut Hendardi, Pilkada sejatinya sebagai pesta politik rakyat untuk menentukan pilihannya secara bebas dan merdeka.
Namun, Pilkada DKI Jakarta telah memberikan magnitude politik secara nasional.
Hal tersebut dikarenakan posisi strategis Jakarta dan politisasi identitas yang di luar batas akal sehat manusia.
"Kontestasi politik di Jakarta menjadi sesuatu yang mencekam, berbiaya tinggi, termasuk high cost security," kata hendardi dalam siaran persnya, Senin (17/4/2017).
Tingginya biaya keamanan dikarenakan aparat keamanan menjadi tumpuan bagi terciptanya kondisi tertib sosial sepanjang proses Pilkada.
"Proses Pilkada DKI Jakarta telah memberikan pembelajaran berharga bagi semua orang tentang kualitas demokrasi dan integritas elektoral seperti Pilkada," katanya.
Baca: 150 Paket Sembako dan 17 Sapi Diduga Milik Relawan Ahok-Djarot Diamankan Panwaslu Kepulauan Seribu
Menurut dia, head to head pada putaran dua antara pasangan Basuki-Djarot dan Anies-Sandi telah menunjukkan demokrasi kita masih terbatas simbolik.
Serta menihilkan nilai-nilai substantif demokrasi itu sendiri..
Kesetaraan kesempatan politik bagi setiap warga negara sekuat tenaga dipangkas sebagai penguat argumen jangan memilih pemimpin nonmuslim dan bukan pribumi.
"Secara sistematis, Basuki Tjahaja Purnama mengalami multiple discrimination sepanjang proses Pilkada," katanya.
Termasuk Djarot yang pribumi dan muslim pun mengalami pengusiran.
Serangan-serangan tersebut, bisa jadi memperluas tingkat keterpilihan Basuki-Djarot, karena simpati dan empati publik yang membesar.