TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bipolarisme yang terjadi di masyarakat kini semakin berkembang yang salah satu pemicunya adalah perbedaan pandangan politik dalam pemilihan kepala daerah.
Jika dulu muncul istilah autopilot yang menyindir Pemerintahan SBY, kini muncul istilah autoreject.
Autoreject adalah sikap untuk menolak segala sesuatu karena tidak berasal dari orang sepaham atau bukan dari satu kelompok.
"Jadi bagaimana sekarang bipolarisme itu terjadi nyata. Jadi baik di dalam politik maupun kehidupan sosial kalau bukan saya, apapun yang kamu katakan, bukan kami. Apapun yang kami katakan kita tolak. Ini kan sesuatu yang kemunduran peradaban sebetulnya buat masyarakat kita," kata Nasihin Masha, eks pemimpin redaksi harian Republika, Jakarta, Sabtu (20/5/2017).
Baca: Serunya Para Gubernur Latihan Militer, Nggak Serem Meski Pegang Senjata dan Peluru Sungguhan
Menurut Nasihin Masha, bipolarisme yang mewabah di Indonesia bukan dari letupan Pilkada Jakarta. Fenomena ini sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan.
Parahnya, kata Nasihin, masyarakat yang terpapar bipolarisme adalah masyarakat kelas menengah.
"Saya lihat itu adalah fenomana-fenomena yang justru banyak terjadi di kelas menengah. Di masyarakat itu relatif baik-baik saja selesai Pilkada. Semua baik-baik saja selesai Pemilu," kata dia.
Akibatnya, siapapun pemenang Pilkada maka akan kesulitan untuk melakukan konsolidasi karena perbedaan yang tajam tersebut. Fragmentasi di mayarakat kini sudah terlalu banyak. (Eri Komar Sinaga)