TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di kawasan Jakarta Pusat, tidak jauh dari stasiun KRL Sawah Besar, terdapat sebuah masjid yang dapat dikatakan cukup unik.
Masjid tersebut bernama Masjid Lautze, nama yang sama seperti nama jalan tempat masjid tersebut berada.
Arsitekturnya Masjid Lautze terbilang unik. Masjid yang dibangun oleh muslim keturunan Tionghoa itu didirikan dari dua unit ruko tiga lantai.
Ruko tersebut disulap, sehingga lantai satunya bisa difungsikan sebagai masjid untuk lantai satu dan dua, dan kantor yayasan Karim Oei untuk lantai tiga.
Perbedaan mencolok dari bangunan masjid Lautze jika dibandingkan dengan bangunan di sepanjang jalan Lautze yang hampir seluruhnya difungsikan sebagai tempat berniaga, adalah warna masjid tersebut.
Warna merah dan kuning mendominasi bagian muka bangunan, yang menghadirkan kesan kuat budaya Tionghoa.
Di lantai satu terdapat kanopi yang dilapisi genteng tembikar, yang bentuknya menyerupai atap pada umumnya bangunan Tionghoa, lengkap dengan hiasan di setiap sudut, dan di bagian puncak kanopi.
Di bawah kanopi tersebut terdapat empat buah pintu masuk berwarna merah yang terbuat dari kayu.
Pintu masuk masjid tersebut tidak berbentuk persegi, melainkan memanjang dengan bentuk setengah lingkaran di bagian atasnya, seperti pintu yang banyak ditemui di bangunan klenteng.
Adalah sebuah prasasti yang terpasang di bagian muka masjid bertuliskan 'Masjid Lautze Jakarta,' lengkap dengan keterangan tanggal persemian, yakni 4 Februari 1994, serta tanda tangan BJ. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang menegaskan bahwa bangunan tersebut adalah masjid.
Dikutip dari masjidlautze.blogspot.co.id, Masjid Lautze didirikan oleh Haji Karim Oei, seorang tokoh muslim Tionghoa.
Ia membangun masjid Lautze awalnya dengan cara mengontrak ruko tempat masjid Lautze berdiri saat ini, pada tahun 1991 lalu.
Pemilihan lokasi jalan Lautze oleh Haji Karim Oei bukannya tanpa alasan. Masjid itu didirikan di tengah-tengah pemukiman warga keturunan Tionghoa, agar warga sekitar mudah mengakses masjid tersebut.
Humas Masjid Lautze, Yusman Iriansyah, menjelaskan bahwa umumnya jamaah masjid tersebut adalah karyawan dari perkantoran maupun tempat usaha di sekitar masjid.
Hal itu menjadi alasan masyarakat hanya bisa mengakses masjid itu hanya pada jam kerja, mulai dari pagi hari hingga pukul 17.OO WIB.
"Jadi kalau sore, malam dan subuh, tidak ada jamaahnya," ujar Yusman Iriansyah.
Ngatimin, merbot masjid tersebut, menambahkan bahwa pada bulan ramadhan, masjid tersebut tidak menyelenggarakan shalat tarawih, kecuali pada hari-hari tertentu, di mana pihak masjid mengundang jamaah, termasuk mereka yang mengucapkan kalimat syahadat di masjid tersebut untuk tarawih bersama.
Bukan berarti warga sekitar tidak ada yang mau shalat di masjid tersebut.
Ngatimin, menyebut di pemukiman yang ada di sekitar jalan Lautze, sudah terdapat masjid yang lokasinya dari kediaman jamaah, lebih dekat dibandingkan masjid Lautze.