TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPRD DKI Jakarta ingin pengadaan satu staf ahli pribadi untuk setiap anggota dewan dimasukkan ke dalam rancangan peraturan daerah (raperda) tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD DKI Jakarta.
Mereka pun menyampaikan berbagai alasan, mulai dari kompleksnya persoalan di Jakarta, tidak adanya DPRD di tingkat kabupaten/kota, beratnya beban kerja anggota DPRD DKI, tugas staf ahli pribadi untuk menyerap aspirasi, hingga menjelaskan beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur soal staf ahli.
Pemprov DKI Jakarta tidak ingin salah langkah memasukkan pasal dalam raperda yang mengatur kenaikan tunjangan anggota dewan itu hingga berujung pelanggaran.
Pemprov DKI juga mengundang pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk menjelaskan aturan tentang staf ahli pribadi bagi anggota DPRD DKI dalam rapat pembahasan pasal-pasal raperda tersebut pada Rabu (2/8/2017).
Terhalang aturan
Keinginan anggota DPRD DKI itu terhalang aturan. Raperda tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD DKI Jakarta harus berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Moch Ardian mengatakan, PP Nomor 18 Tahun 2017 tidak mengatur adanya staf ahli atau asisten pribadi untuk anggota dewan.
"Di PP 18 enggak disebutkan ada namanya staf ahli, itu enggak ada. Kalau bicara staf ahli anggota, aturannya enggak ada," kata Ardian, Rabu (2/8/2017).
Ardian mengatakan, PP Nomor 18 Tahun 2017 hanya mengatur adanya tiga orang pakar atau tim ahli untuk setiap alat kelengkapan dewan. Selain itu, PP tersebut mengatur satu orang tenaga ahli untuk masing-masing fraksi.
Karena staf ahli pribadi tidak diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2017, pendanaan untuk pengadaan staf ahli pribadi pun tidak bisa dilakukan.
"Maka begitu tidak diatur, itu sama saja ya enggak bisa dianggarkan. Gitu aja, kan enggak ada pengaturannya," tutur Ardian.
Ardian mempersilakan DPRD DKI Jakarta merumuskan adanya staf ahli pribadi untuk setiap anggota dewan dalam raperda inisiatif mereka itu.
Namun, saat raperda itu diserahkan ke Kemendagri, Ardian memastikan raperda tersebut akan dievaluasi karena tidak sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 2017.
"Begitu aturannya enggak nyebut, ya jelas enggak ada. Jadi kalaupun nanti ternyata dikoreksi, bukan Kemendagri yang melarang, (tetapi) aturannya, PP-nya yang melarang," ujarnya.
Pimpinan DPRD DKI tidak setuju
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham "Lulung" Lunggana mengatakan, tidak ada aturan yang mengatur pengadaan satu staf ahli pribadi untuk setiap anggota dewan.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bampeperda) DPRD DKI Jakarta itu menyebut, Bampeperda tidak akan memasukkan pasal soal staf ahli pribadi ke dalam raperda.
Sebab, pembentukan perda itu berpedoman pada PP Nomor 18 Tahun 2017.
"Enggak boleh dong, kalau di kitabnya enggak boleh, ya jangan dijalani. Enggak boleh melanggar aturan," kata Lulung.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik pun sependapat dengan Lulung. Pengadaan satu staf ahli pribadi untuk setiap anggota dewan tidak diperbolehkan.
"Yang pendamping pribadi (staf ahli per anggota dewan) itu enggak ada itu, enggak boleh. Sudah pasti enggak dimasukin dong," ujarnya.
Taufik menyatakan, DPRD cukup dibantu dengan tenaga ahli yang dimiliki sekarang yang ada alat kelengkapan dewan dan fraksi.
Berita ini sudah tayang di kompas.com dengan judul: Keinginan Anggota DPRD DKI Miliki Staf Pribadi yang Terhalang Aturan