TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinas Kesehatan DKI Jakarta sudah mengetahui bayi Deborah Simanjorang meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Dinas mengetahui berdasarkan informasi yang berkembang di media sosial (medsos).
Manajemen Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres mengaku bahwa mereka sudah melakukan pelayanan medis sesuai ketentuan.
Informasi klarifikasi itu didapatkan Wartakotalive.com (Tribunnews.com Netwrok) dari Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto, melalui pesan aplikasi Whatsapp.
Dia menuturkan bahwa kesimpang siuran berita itu akan segera ditindak lanjuti. "Sudah ada klarifikasi dari pihak Rumah Sakit," ucap dia.
Inilah klarifikasi dari pihak RS Mitra Keluarga Kalideres
Berkenaan dengan berita tentang Ananda Deborah Simanjorang (yang terdaftar sebagai Tiara Deborah) yang beredar di media sosial, yang pada intinya menyatakan pasien meninggal dunia dikarenakan tidak mendapat fasilitas ICU berhubung keluarga pasien kesulitan biaya, dengan ini kami memberikan klarifikasi sekaligus menyampaikan fakta yang sebenarnya terjadi atas diri pasien sebagai berikut:
1. Pasien berumur 4 bulan, berat badan 3,2 kg datang ke IGD Mitra Keluarga Kalideres pada tanggal 3 September 2017 jam 03.40 dalam keadaan : tidak sadar, kondisi tubuh tampak membiru.
Pasien dengan riwayat lahir premature, riwayat penyakit jantung bawaan (PDA) dan keadaan gizi kurang baik .
Dalam pemeriksaan didapatkan : nafas berat, dan dalam, dahak banyak, saturasi oksigen sangat rendah, nadi 60 kali per menit, suhu badan 39 derajat celcius.
Pasien segera dilakukan tindakan penyelamatan nyawa (life saving) berupa: penyedotan lendir, dipasang selang ke lambung dan intubasi (pasang selang nafas ), lalu dilakukan bagging (pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang nafas), infus, obat suntikan dan diberikan pengencer dahak (nebulizer).
Pemeriksaan laboratorium dan radiologi segera dilakukan.
Kondisi setelah dilakukan inkubasi lebih membaik, sianosis (kebiruan) berkurang, saturasi oksigen membaik, walaupun kondisi pasien masih sangat kritis.
Kondisi pasien dijelaskan kepada Ibu pasien, dan dianjurkan untuk penanganan selanjutnya di ruang khusus ICU.
2. Ibu pasien mengurus di bagian administrasi, dijelaskan oleh petugas tentang biaya rawat inap ruang khusus ICU, tetapi ibu pasien menyatakan keberatan mengingat kondisi keuangan.
3. Ibu pasien kembali ke IGD, dokter IGD menanyakan kepesertaan BPJS kepada ibu pasien, ibu pasien menyatakan punya kartu BPJS, maka dokter menawarkan kepada ibu pasien untuk dibantu merujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS, demi memandang efisiensi dan efektivitas biaya perawatan pasien.
Ibu pasien menyetujui. Dokter membuat surat rujukan dan kemudian pihak RS berusaha menghubungi beberapa RS yang merupakan mitra BPJS.
Dalam proses pencarian RS tersebut baik keluarga pasien maupun pihak RS kesulitan mendapatkan tempat.
4. Akhirnya pada jam 09.15 keluarga mendapatkan tempat di salah satu RS yang bekerjasama dengan BPJS. Dokter RS tersebut menelpon dokter kami menanyakan kondisi pasien.
Sementara berkomunikasi antar dokter, perawat yang menjaga dan memonitoring pasien memberitahukan kepada dokter bahwa kondisi pasien tiba-tiba memburuk.
5. Dokter segera melakukan pertolongan pada pasien. Setelah melakukan resusitasi jantung paru selama 20 menit, segala upaya yang dilakukan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien.
Demikianlah uraian fakta yang sebenarnya terjadi, guna meluruskan simpang siur pemberitaan yang beredar di media sosial.