TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan jajarannya menata ulang kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan mengubah berbagai hal.
Salah satu yang diubah adalah menutup akses jalan Kebon Jati Raya yang mengililingi kawasan Tanah Abang dan sekitarnya.
Akses jalan tersebut ditutup untuk memfasilitasi PKL yang ingin berjualan, dengan menyediakan lebih 400 tenda yang dibangun di satu sisi jalan.
Sedangkan sisi lain digunakan untuk shuttle busa gratis yang disediakan untuk mengelilingi kawasan Tanah Abang.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, hal tersebut seharusnya dikaji ulang, karena ada undang-undang yang mengatur agar jalan tidak difungsikan untuk hal lain, karena akan mengganggu lalu lintas.
“Direkayasa dengan menutup. Kecuali penutupan itu temporer, dalam waktu tidak lama. Tidak seharian, ketika masyarakat memerlukan jalan itu,” ujar Djoko ketika dihubungi, Sabtu (23/12/2017).
Baca: Pedagang Blok G: Trotoar Tanah Abang Dibangun untuk Pejalan Kaki Atau PKL?
Undang-undang yang mengatur salah satunya adalah UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 275 ayat (1) jo pasal 28 ayat (2).
Bunyinya, setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Larangan itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Dalam beleid itu terdapat ketentuan pidana yang sangat tegas, 18 bulan penjara atau denda Rp 1,5 miliar, bagi setiap orang yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan trotoar.
“Dari dua peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan PKL berjualan di jalan dan trotoar merupakan perbuatan yang melanggar hukum,” tutur Djoko.