PSI hadir untuk mendekatkan kembali politik kepada kebajikan.
PSI sendiri, kata Grace, lahir untuk merespon kecenderungan perubahan sosial-politik generasi baru tersebut.
Generasi baru umumnya berharap lahirnya pemimpin-pemimpin yang bisa dipercaya, berintegritas, peduli pada rakyat, dan kompeten.
Berikutnya, sesuai dengan perubahan sosial itu, generasi politik baru cenderung menuntut kesetaraan dan inklusivitas politik yang lebih besar.
Karenanya, generasi baru cenderung menentang berbagai bentuk sentralisme dan hirarki politik yang panjang.
Kepemimpinan PSI bertumpu pada prinsip kepemimpinan demokratis yang realistis, yakni poliarki atau kepemimpinan oleh banyak orang. Ketua partai tidak diberi insentif untuk menjadi pemimpin nasional demi menghindari politisasi partai untuk kepentingan sang pemimpin sendiri.
Lalu, Grace memberikan contoh bahwa PSI itu ibarat Go-Jek yang mampu mengalahkan Blue Bird dalam dunia bisnis transportasi. Ia yakin, PSI menjadi partai besar dan didukung oleh generasi muda Indonesia. Selain itu, tambahnya, PSI juga dapat memberikan banyak manfaat untuk masyarakat sekitar.
“Kami merasa beruntung PSI ini lahir di dunia revolusi teknologi. Misalnya, di zaman saya kuliah itu ada Blue Bird. Belum terbayang ada perusahaan transportasi lain yang mampu mengalahkan Blue Bird. Kemudian Gojek nongol. Kita berpikir mana mungkin Go-Jek bisa mengalahkan Blue Bird. Sekarang, Blue Bird harus bergabung dengan Go-Jek kalau nggak dia kalah. Kalau dulu orang harus punya mobil-mobil taksi barulah dia bisa menjadi transportasi besar. Tapi Go-Jek justru menguntungkan banyak orang di mana hanya punya motor untuk antar orang atau barang,” urainya.
Grace pun mengaku PSI menerapkan partisipasi aktif bagi pengurusnya yaitu menyumbangkan atau menjadikan rumahnya untuk kantor partai PSI. Ia pun sungguh terkejut karena anggota atau relawan PSI yang saat ini berjumlah 25 ribu orang yang mayoritas generasi muda di bawah 33 tahun yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, mau memberikan segalanya bagi partai baru PSI.
Selain itu, kata Grace, di PSI juga tidak ada uang mahar bagi anggota atau pengurus yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
“Kalau di kita itu ada yang namanya partisipasi aktif di mana teman-teman itu kita ajak untuk menyumbangkan atau menjadikan rumahnya untuk kantor partai. Surat rumah tetap dipegang oleh teman-teman. Tetapi kita minta izin ini harus diakui oleh Kemenkumham atau KPU ini sebagai kantor partai. Dan, saat ini kami punya 25 ribu pengurus yang di bawah 33 tahun. Jadi banyak yang lulus SMA atau belum lulus kuliah atau sudah lulus kuliah. Tapi, mereka mengizinkan rumahnya dipakai,” urai Grace.
“Zaman dulu kalau kita bikin partai itu harus ada cukongnya lah. Ada yang bagi duit persis kayak karyawan lah. Kalau sudah ngeluarin duit pasti ingin duitnya balik. Masuk akal lah orang yang sudah keluar duit tapi nggak dapat apa-apa. Makanya kita kenal ada uang mahar, tapi di kita itu tidak ada,” kata Grace lagi.
Walaupun sungguh melelahkan mengikuti rangkaian kegiatan KBFP 2018 yang seru di hari ketiga, nampaknya para peserta lebih tercerahkan. Para peserta yang terdiri dari 50 pemuda yang tersebar dari berbagai daerah di Tanah Air dapat mengambil ilmu positif di sini.
Misalnya, Mekar Sinurat (30), Bendahara KNPI Toba Samosir; Heru Permana Putra (30), pengajar atau dosen di Universitas Andalas Padang; Rian Adelima Sibarani (26), aktivis bantuan hukum di LBH Pekanbaru; M Zulkarnain Purba (25), pegiat dunia jurnalistik; Jaka Hendra Baittiri (28), jurnalis; Joni Day (31), aktivis komunitas kreatif dan media sosial dari Palembang, dan masih banyak lagi.