Seiring perubahan sikap dan mental santri, lama kelamaan jumlah anak didiknya menyusut.
Chunk menjelaskan, pesantren di Cisarua mengembangkan pola kewirausahaan.
Kini santrinya tidak lebih dari 50 orang, jauh menyusut dari masa awal didirikan santrinya mencapai 400 orang.
Penyusutan ini, kata Chunk, disebabkan santri sudah merasa cukup mapan dan siap kembali ke masyarakat dengan modal ilmu agama dan keterampilan berwirausaha.
"Jika jumlah santri menyusut, Pak Anton malah bersyukur. Itu berarti, pola pengajaran di pesantren sudah dilalui dan bekal untuk mereka hidup dan kembali diterima masyarakat sudah cukup," ujar Chunk.
Bidang usaha yang dijalankan antara lain, percetakan, sablon, dan balai latihan kerja.
Pada 2004, usaha sablon dari pesantren Cisarua ini mendapatkan keuntungan yang cukup besar, sehingga berniat mendirikan pesantren At Taibin yang sudah lama dimimpi-mimpikan.
Tutur Chunk, satu tahun kemudian, ketika pesantren At Taibin selesai dibangun, saat itu juga langsung dibuka pendaftaran.
Ia menambahkan kalau pesantren ini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, sehingga statusnya sama dengan sekolah negeri.
Masjid bernama Tan Kok Liong yang berada pada area pesantren ini juga memiliki arsitektur yang unik.
Masjid berarsitektur klenteng ini dibangun pada 2005 setelah pondok pesantren At Taibin selesai dibangun.
Idenya muncul saat Anton menyimak berita kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke China pada 2004.
Anton, kata Chunk, yang memang berdarah Tionghoa itu akhirnya bertekad bulat membangun Masjid Tan Kok Liong dengan biaya sekira Rp2 miliar.
Sebelum dibangun, Anton sempat riset dari sejumlah referensi arsitektur China. Dan akhirnya menemukan gambar dan desain istana-istana yakni Istana Dinasti Ming, Ching, dan Hang.