Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Namanya At Taibin, pondok pesantren yang terletak di Kampung Bulak Rata, Pondok Rajeg, Cibinong, Kabupaten Bogor ini memiliki nuansa yang berbeda dengan pesantren di Indonesia pada umumnya.
Budaya Tiongkok sangat kental di pesantren ini. Terlihat dari bentuk bangunan menyerupai kuil, lengkap dengan segala ornamennya.
Baca: Musala Bergaya Tionghoa di Kolong Tol Ancol Namanya Babah Alun AGP, Diresmikan saat Imlek
Di pintu gerbang berukuran sekira empat meter dengan tinggi gapura sekira tiga meter, dibangun mirip benteng kokoh yang menyelimuti Kota Terlarang (Forbidden City) yang ada di Kota Beijing.
Pintu gerbang pesantren itu dibalur dengan cat warna cerah. Terdapat juga pos penjagaan yang difungsikan sebagai tempat penerima tamu.
Di kiri pintu masuk terdapat sebuah pesan moral menggunakan bahasa Indonesia, tetapi hurufnya seperti aksara Tiongkok.
Tulisan itu jika dibaca bunyinya adalah, "agar dirimu bermanfaat, mantapkan imanmu, luruskan niatmu, tingkatkan prestasimu raih cita-citamu."
"Ingat, kematian bukanlah yang mesti kau risaukan. Melainkan jalan menuju mati itulah yang harus kau siapkan," kata pengurus pesantren At Taibin sekaligus penjaga Masjid Tan Kok Liong, Chunk, kepada Tribunnews.com, Selasa (5/2/2019).
Chunk kembali bercerita bahwa pesantren ini didirikan oleh mantan narapidana kelas kakap, Anton Medan.
Setelah melalui kehidupan yang penuh lika-liku, 1998 Anton Medan hijrah ke Islam. Ia rajin melakukan dakwah.
Pada 1994 bersama Zainudin MZ, Anton Medan membentuk majelis ta’lim At Taibin, dan kemudian, 1996 baru menjadi yayasan At Taibin.
Kata Chunk, awal pergerakan yayasan tersebut digunakan oleh Anton Medan untuk pembinaan napi dan preman.
Ia juga aktif dakwah ke lembaga pemasyarakatan. Karena ia adalah pembina dari 480 LP di seluruh Indonesia.
Pada dasarnya, pesantren di Cibinong ini merupakan perpanjangan dari pesantren khusus mantan narapidana yang dibangun pada 1996 di Cisarua Bogor, Jawa Barat.
Seiring perubahan sikap dan mental santri, lama kelamaan jumlah anak didiknya menyusut.
Chunk menjelaskan, pesantren di Cisarua mengembangkan pola kewirausahaan.
Kini santrinya tidak lebih dari 50 orang, jauh menyusut dari masa awal didirikan santrinya mencapai 400 orang.
Penyusutan ini, kata Chunk, disebabkan santri sudah merasa cukup mapan dan siap kembali ke masyarakat dengan modal ilmu agama dan keterampilan berwirausaha.
"Jika jumlah santri menyusut, Pak Anton malah bersyukur. Itu berarti, pola pengajaran di pesantren sudah dilalui dan bekal untuk mereka hidup dan kembali diterima masyarakat sudah cukup," ujar Chunk.
Bidang usaha yang dijalankan antara lain, percetakan, sablon, dan balai latihan kerja.
Pada 2004, usaha sablon dari pesantren Cisarua ini mendapatkan keuntungan yang cukup besar, sehingga berniat mendirikan pesantren At Taibin yang sudah lama dimimpi-mimpikan.
Tutur Chunk, satu tahun kemudian, ketika pesantren At Taibin selesai dibangun, saat itu juga langsung dibuka pendaftaran.
Ia menambahkan kalau pesantren ini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, sehingga statusnya sama dengan sekolah negeri.
Masjid bernama Tan Kok Liong yang berada pada area pesantren ini juga memiliki arsitektur yang unik.
Masjid berarsitektur klenteng ini dibangun pada 2005 setelah pondok pesantren At Taibin selesai dibangun.
Idenya muncul saat Anton menyimak berita kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke China pada 2004.
Anton, kata Chunk, yang memang berdarah Tionghoa itu akhirnya bertekad bulat membangun Masjid Tan Kok Liong dengan biaya sekira Rp2 miliar.
Sebelum dibangun, Anton sempat riset dari sejumlah referensi arsitektur China. Dan akhirnya menemukan gambar dan desain istana-istana yakni Istana Dinasti Ming, Ching, dan Hang.
"Pak Anton mengadopsi bentuk arsitektur dinasti Ching dan saya sendiri yang mendesain sekaligus menjadi arsiteknya," ungkapnya.
Lazimnya, masjid bergaya arsitektur klenteng berciri khas dominasi warna merah dengan sentuhan nuansa kuning dan hijau.
Begitu juga penampilan Masjid Tan Kok Liong. Dari luar, masjid ini seperti istana. Padahal, sepertinya masjid ini dibangun dengan bahan bangunan biasa.
Bagian dalam masjid ini tak terlalu luas. Namun, cukup untuk menampung jemaah sampai seratusan orang.
Ornamen atap masjid ini menyiratkan simbol naga dibangun berjenjang tiga. Ruang ibadah utama dibuat dalam satu lantai.
Baca: Tahun Baru Imlek, Sandiaga Bakal Makan Siang Bersama Komunitas Tionghoa Solo
Lantai bawah digunakan untuk kantor, yang unik justru dua ruangan di atas masjid. Dua undakan bangunan yang menyerupai bentuk klenteng itu ternyata dibiarkan kosong.
Di samping masjid itu terdapat sebuah makam yang dinaungi cungkup. Makam ini sudah ada lebih dulu daripada masjid. Lubang tersebut, tutur Chunk, rencananya untuk makam Anton Medan jika meninggal nanti.