TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Dr. Faisal Abdullah, S.H., M.Si., DFM, mengatakan bahwa rumah tangga atau keluarga di Indonesia harus terus menurunkan kebiasaan tentang budaya, moral serta etika yang ada di rumah tangga atau keluarga ke anak-anak atau cucu-cucunya. Karena melalui rumah tangga atau keluarga ini akan selalu memunculkan kesinambungan budaya dari masing-masing daerah yang ada di bangsa ini.
“Ini agar tidak terjadi putusan-putusan yang tidak menjadi suatu keutuhan yang menyeluruh secara nasional. Karena dengan adanya budaya yang baru seperti dengan adanya smartphone dan kemajuan teknologi yang cukup pesat itu telah menjadi suatu loncatan sejarah yang mengakibatkan tergerusnya budaya lama dan munculnya budaya baru yang juga tidak dipahami oleh para orang tua untuk disampaikan ke generasi selanjutnya,” ujar Prof. Dr. Faisal Abdullah, Senin (15/7/2019).
Dijelaskan Faisal, jika sampai budaya baru tersebut muncul ke generasi-generasi berikutnya, tentunya akan membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, apalagi jika tidak ada hubungan antar generasi ke generasi berikutnya. Meskipun ada dialog antar generasi, tapi hal tersebut lebih hanya kepada sikap formal, bukan sebagai suatu kebiasaan di dalam rumah tangga antara anak dan orang tua.
“Tapi akhir-akhir ini baru mulai muncul kebiasan baru bahwa antara orang tua dengan anak muda atau anak-anak mereka itu sudah mulai ada dialog, mulai ada kebiasaan bersama, tapi kita sudah terlanjur kehilangan panutan. Sehingga apapun yang dilakukan itu baru mau menjadi budaya baru. Nah disinilah peran bagaimana media-media sosial harus menjadi penuntun, bukan menjadi perusak,” ujar Faisal.
Dikatakan Faisal, selama ini dirinya selama ini mengamati media sosial sekarang ini lebih banyak cenderung ke arah yang negatif. Apalagi ditambah dengan kondisi politik di negeri kita ini yang memanas di tengah perbedaan sehingga dapat memancing dan membawa media sosial ini ke arah yang lebih negatif. Hal tersebut tentunya mungkin akan berbeda jika kondisi politik di negara ini normal yang misalnya tidak terganggu dengan Pilpres atau tidak terganggu dengan masalah keagamaan.
“Saya kira akhir-akhir ini dan tahun-tahun kedepan kita akan mengalami guncangan guncangan yang sifatnya tentu kita harus siap dan sigap. Saya tidak ingin mengatakan itu mederat, tapi setidaknya dapat menghasilkan kelompok-kelompok tapi yang berani untuk mengatakan bahwa saya Pancasila. Bukan saya Islam, saya Nasrani atau saya Kristen, tapi Saya membela Indonesia,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya, perlu adanya peran para tokoh untuk mengajak masyarakat mau menggelorakan pengarusutamaan moderasi dan toleransi baik di dunia nayta maupun dunia maya.
“Dan yang penting dilakukan para tokoh-tokoh tersebut yakni tidak berselisih antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya Mungkin dalam kontemporer dia berselisih, tetapi dalam suatu ikatan yang lebih tinggi, dia adalah satu,” urainya.
Diakuinya memang anak-anak muda sekarang sebenanya sudah tidak mengenal tokoh. Dan mereka tidak akan patuh misalnya kalau tokoh A atau tokoh B yang mengatakan suatu hal, karena tokoh tersebut telah menjadi tokoh untuk dirimya.
“Nah ini yang sebenanrya menjadi pekerjaan berat sekarang ini . Karena anak-anak sekarang ini cenderung untuk memutuskan antara perilaku lama dengan perilaku yang baru. Jadi mereka cenderung untuk berpikir secara instan dan bukan tidak toleran, tapi dia toleransi pada hal-hal yang menguntungkan bagi dia,” paparnya.
Pria yang juga menjabat sebagai Deputi bidang Pemberdayaan Pemuda di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ini mengatakan, selama ini dirinya di Kemenpora sendiri telah merancang untuk bekerjasama dengan beberapa lembaga dalam membekali pemuda agar tidak mudah terpengaruh dengan kemungkinan masuknya ideologi lain yang disebarkan melalui dunia maya.
“Kita ingin membangun basis basis pemuda yang dapat menangkal serangan-serangan seperti apakah itu berupa kalimat atau berupa narasi di media sosial terhadap perubahan-perubahan yang mereka lakukan atau yang ingin mereka lakukan yaitu dengan hoax,” tuturnya.
Sebenarnya hoax ini ada tujuannya, yaitu ingin membuat masyarakat tidak percaya terhadap orang yang dibahas dalam satu konsep. Mereka ini sebenarnya ingin membangun suatu konsep, tapi belum bisa. Jadi sebelum mereka menanamkan itu, sama dengan misalnya kalau mereka sudah kecanduan tentang hoax ini, baru mereka akan menanamkan apa yang akan mereka lakukan.
Karena dirinya melihat sekarang ini ada kelompok-kelompok yang ingin masyarakat ini untuk tidak mempercayai apapun yang ada di dunia atau di negara kita ini.
“Kalau dipikir jangka panjang kelompok-kelompok itu ingin membuat ideologi baru. Dan disitulah peran kita selaku pemerintah melalui Kemenpora ini untuk melihat ini bukan secara sempit. Untuk itulah kami berusaha semaksimal mungkin untuk membentengi generasi muda itu dari pengaruh-pengaruh tersebut,” katanya.