Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum empat pengamen Cipulir korban salah tangkap Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan pembunuhan, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16), dari LBH Jakarta, Okky Wiratama Siagian mengatakan masih memiliki tiga cara lain untuk mendapatkan ganti rugi terhadap kliennya meski Hakim Tunggal Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa telah menolak seluruh permohonan pihaknya.
"Menurut kami ada empat cara. Pertama praperadilan kemarin, kedua menggugat perbuatan melawan hukum secara perdata," kata Okky di Kantor Komisi Yudisial RI, Jakarta Pusat pada Jumat (2/8/2019).
Baca: Empat Pengamen Cipulir Laporkan Hakim Praperadilan PN Jaksel Ke Komisi Yudisial
Sedangkan untuk dua cara lainnya, Okky menyebut cara tersebut belum pernah digunakan sebelumnya.
Meski begitu, ia mengatakan pihaknya masih akan mengkaji dan mempertimbangkan upaya mana yang akan diajukan lebih dulu.
"Sisanya masih kami kaji dan pertimbangkan jadi tidak berhenti di sini. Jadi ke depan kami akan mengkaji itu," kata Okky.
Okky mengatakan, langkah terdekat yang akan dilakukan pihaknya adalah membuat laporan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk melaporkan Hakim Tunggal Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Elfian, atas dugaan pelanggaran hukum acara setelah pihaknya membuat laporan yang sama ke Komisi Yudisial pada Jumat (2/8/2019).
Dalam laporan yang teregistrasi di KY dengan nomor 0892/VIII/2019/P tersebut, Okky menyampaikan lima hal kepada KY.
Pertama, Okky menyampaikan kliennya, yakni empat pengamen Cipulir tersebut sempat diputus bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1131/PID.AN/2013/PN.JKT.SELter tanggal 1 Oktober 2013.
Kedua, Okky menyampaikan kliennya diputus terbukti tidak bersalah berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 131/PK/Pid.Sus/2015tertanggal 19 Januari 2016.
Ketiga, Okky menyampaikan berdasarkan Salinan Putusan Peninjauan Kembali yang telah diterima oleh penasihat hukum (LBH Jakarta) per tanggal 25 Maret 2019, maka pihaknya mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian yang didaftarkan pada 21 Juni 2019.
Keempat, Okky menyampaikan berdasarkan pasal 7 ayat (1) PP Nomor 92 tahun 2015.
Pasal tersebut berbunyi:
"Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima".
"Namun, Hakim Tunggal yang memeriksa perkara ini yakni Elfian SH MH dalam putusannya per 30 Juli 2019 menolak permohonan praperadilan ganti kerugian kami dengan alasan sudah kadaluwarsa atau melewati tenggat waktu sebagaimana pasal 7 ayat (1) PP Nomor 92 tahun 2015," sebagaimana dikutip dari poin kelima dalam laporan LBH Jakarta ke KY tersebut.
Okky menjelaskan, mereka melaporkan Hakim Elfian karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum acara khususnya pasal 82 ayat 2 KUHAP yang pada pokoknya memuat bahwa hakim yang memutus perkara harus memberikan dasar dan alasan hukum yang jelas.
"Namun yang kami dapatkan dalam putusan praperadilan kemarin, tidak ada satu pun alasan hukum apa yang mengesampingkan salinan putusan," kata Okky di kantor Komisi Yudisial RI, Jakarta Pusat pada Jumat (2/8/2019).
Ia menilai putusan hakim Elfian tidak berkeadilan karena dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan Salinan putusan Peninjauan Kembali yang telah diterima LBH Jakarta pada 25 Maret 2019.
"Putusan tersebut sangatlah tidak berkeadilan, karena hakim dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan salinan putusan peninjauan kembali yang telah kami terima pada 25 Maret 2019," kaya Okky.
Diberitakan sebelumnya, Hakim Tunggal Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Elfian, menolak gugatan praperadilan ganti rugi yang diajukan empat pengamen Cipulir.
Dalam putusannya, hakim memutus untuk menolak gugatan para pengamen tersebut karena dianggap kadaluwarsa.
"Menetapkan menyatakan hak menuntut ganti kerugian para pemohon gugur karena kadaluwarsa. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Elfian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (30/7/2019).
Dalam amar putusannya, hakim menganggap para pemohon sudah menerima petikan putusan sejak 11 Maret 2016 dan telah menerima salinan putusan tanggal 25 Maret 2019.
Sehingga permohonan ganti rugi tersebut menjadi kadaluwarsa.
Sebab permohonan praperadilan ganti rugi baru diajukan tanggal 21 Juni 2019.
"Menimbang jika dihitung sejak tanggal penerimaan petikan putusan tersebut 11 Maret 2016 sampai tanggal permohonan ini diajukan oleh para pemohon tanggal 21 Juni 2019 sudah melebihi 3 tahun berarti telah melebihi jangka waktu 3 bulan sebagaimana ditentukan pasal 7 ayat 1 PP 92/2015," tutur Elfian.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas hak menuntut ganti kerugian para pemohon haruslah dinyatakan gugur karena telah kedaluwarsa dan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya," tambah Elfian.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dituntut ganti rugi oleh LBH Jakarta atas perkara salah tangkap dalam kasus pembunuhan
Korban salah tangkap yakni empat orang pengamen yang masih di bawah umur.
Empat pengamen bernama Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16) ditangkap Jatanras Polda Metro Jaya pada 2013 silam.
Mereka ditahan karena dituduh melakukan pembunuhan di kolong jembatan samping kali Cipulir, Jakarta Selatan.
Dalam prosesnya, polisi dituduh melakukan kekerasan terhadap empat orang anak ini agar mau mengaku melakukan pembunuhan.
Mereka kemudian divonis hakim bersalah dan harus mendekam di penjara anak Tangerang. Belakangan, keempat anak ini dinyatakan tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut.
Mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016. Mereka bebas pada tahun 2013.
LBH Jakarta kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut.
Kerugian yang dituntut pihak mereka sebesar Rp 186.600.000 untuk per anak.
Baca: Gugatan Ganti Rugi Ditolak Hakim, Ibu Pengamen Korban Salah Tangkap Polisi Pun Histeris
Biaya itu meliputi total kehilangan penghasilan sampai biaya makan selama di penjara. Dengan demikian, total untuk keempatnya sebesar Rp 746.400.000.
Tidak hanya tuntuan secara materi, pihaknya juga meminta pihak Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengakui semua kesalahanya karena salah menangkap orang dan melakukan tindak intimidasi.