“Jadi apakah itu untuk kepentingan politik, kampanye untuk berbagai isu lingkungan, perdagangan dan sebagainya, maka yang terjadi adalah ruang publik di media sosial ini menjadi sebuah ruang medan perang opini dimana masing-masing pihak yang berusaha memenangkan opini publik, akhirnya berusaha untuk membentuk opini dengan menyebarkan informasi informasi tentunya yang berpihak pada si penyebarnya,” kata pria kelahiran Bandung. 29 Juli 1975 ini
Namun yang menjadi masalah menurutnya, buzzer ini bisa dengan mudah dan tanpa konsekuensi dalam menyebarkan informasi yang salah atau memang sengaja dibuat salah, disinformasi dan hoax. Untuk itu salah satu cara untuk melawannya adalah masyarakatnya harus makin cerdas dan makin pintar.
“Ini hubungannya dengan literasi digital. Yang utama memang masyarakat Indonesia harus lebih rajin mencari sumber informasi yang benar, jangan mau gampang terpercaya dengan informasi yang beredar di media sosial,” kata pria yang juga sebagai pelaku startup dan bertindak sebagai Eksekutif Direktur dari Gerakan Nasional 1000 Startup ini..
Untuk itu ketika mendapat informasi pun masyarakat juga diminta untuk tidak mudah emosi, terkejut, heran, gampang terpancing, terprovokasi, yang berakibat lalu ikut menyebarkan lagi informasi itu ke sekelilingnya. Karena hal tersebut yang diinginkan oleh para buzzer atau pembuat hoax ini. Untuk itu dirinya meminta kepada masyarakat pengguna media sosial ketika mendapat informasi dari dunia digital, dari media sosial lebih baik di ‘diskon’ dulu kebenaranya hingga 50% dari pada langsung percaya.
“Dengan cara begitu kita bisa melawan informasi yang salah dengan efektif dan kemudian ke depan makin menurun aktivitasnya, tidak bisa lagi hanya sekedar menyebaran informasi atau fitnah yang tidak jelas, apalagi cara-caranya kasar, misalnya melakukan Photoshop terhadap media atau screenshoot dari media, majalah, TV dan lain sebagainya, karena masyarakat sudah lebih cerdas lagi,” katanya.
Enda pun memberikan tips untuk mengenali ciri-ciri akun buzzer yang palsu diantaranya bisa, namanya bukan nama asli. Selain itu juga bisa dilihat dari jumlah isi posting atau kontennya yang biasanya sangat satu sisi atau satu arah dan tidak banyak informasi tentang hal-hal lain.
“Jadi hanya tentang isu atau campaig yang terus-menerus dikabarkan Ini tentu berbeda dengan akun-akun yang memang riil atau orang-orang yang jelas, biasanya tentu ada banyak konten yang sesuai dengan pribadinya masing-masing seperti hobinya atau aktivita kesehariannya,” ucap Ketua Tim Jabar Saber Hoaks yang dibentuk Pemerintah Provisni Jawa Barat ini.
Dirinya juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas terhadap para penyebar fitnah atau hoax.
“Penegakkan hukum menjadi salah satu faktor yang penting agar ada efek jera, sehingga tidak lagi terus menerus masyarakat dibombardir oleh hoax dan disinformasi,” kata Enda.