TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam menyambut Hari Bela Negara yang jatuh setiap tanggal 19 Desember, pengamat terorisme, Letjen TNI (Purn) Agus Surya Bakti, M.I.Kom mengatakan bahwa dalam konteks zaman milenial seperti sekarang ini jika bicara bela negara tentunya sudah sangat jauh berbeda dengan pemahaman bela negara di masa masa lalu.
Yang mana pada masa lalu bela negara itu kecenderungannya ada hubungan dengan militer, pakaian loreng, bahkan pelatihan ala militer yang juga dilakukan oleh institusi militer.
“Tetapi di era milenial sekarang ini yang namanya bela negara itu ada di dalam kehidupan kita masing-masing, seperti bagaimana kita membangun sebuah kehidupan di bidangnya masing-masing sesuai dengan profesi kita untuk mewujudkan yang terbaik. Itu wujud bela negara yang paling simple dan pailing mudah,” ungkap Letjen TNI (Purn.) Agus Surya Bakti, Kamis (19/12/2019)
Lebih lanjut mantan Sesmeko Polhukam ini menjelaskan, Bela negara itu kalau secara total adalah sebuah kekuatan dari seluruh unsur masyarakat Indonesia dalam membela bangsa ini. Namun bukan berarti harus maju berperang, apalagi sekarang ini bukan zamannya perang.
“Perang sekarang adalah perang melawan kehidupan kita masing-masing. Seperti anak sekolah menyelesaikan sekolahnya, mahasiswa menyelesaikan kuliahnya, orang bekerja di pemerintahan, BUMN, swasta bagaimana harus bisa bekerja dengan baik agar hasilnya bisa menguntungkan terhadap semuanya. Kemudian tidak korupsi, lalu terbebas dari segala macam bentuk penyebaran paham kekerasan yang sekarang lagi masif di lingkungan kita seperti radikalisme negatif yang mengarah kepada terorisme. Jadi itulah wujud bela negara di era sekarang,” ujar alumni Akmil tahun 1984 ini.
Terkait maraknya penyebaran paham radikal negatif yang berujung pada aksi kekerasan seperti terorisme itulah dirinya mengajak kepada masyarakat untuk melakukan Bela Negara dalam melawan penyebaran paham tersebut. Karena radikal sekarang menurutnya sudah beda.
Radikal sekarang tidak bisa dikaitkan dengan agama dan tidak ada lagi sebuah radikalisme yang dikaitkan sebuah agama. Karena radikal atau kekerasan itu adalah sebuah paham yang dianut untuk mencapai memaksakan keinginannya.
Pria kelahiran Stabat, 17 Agustus 1961 ini menjelaskan, ada dua pemahaman tentang radikal itu sendiri, yakni positif dan negatif. Diirinya mencontohkan radikal positif seperti belajar harus radikal agar bisa lulus.
Demikian pula bekerja juga harus radikal agar bisa menghasilkan sebuah hasil kerja yang baik. Selain itu guru harus membina anak murid juga harus radikal agar melebihi kemampuan gurunya.
“Tetapi ada juga radikal yang negatif yaitu sebuah paham atau keyakinan bahwa dengan kekerasan merupakan ajaran satu satunya yang dapat menyelesaikan setiap masalah. Nah itu sudah muncul di semua kehidupan kita. Kalau kita bicara dulu tentang terorisme itu diawali dengan sebuah radikalisme negatif itu,” ujar mantan Pangdam XIV/Hasanuddin dan Pangdam VII/Wirabuana ini.
Suami dari mantan arti Bella Saphira ini mengatakan, sekarang ini radikalsime itu sudah masuk ke semua segmen kehidupan masyarakat yang ingin memaksakan dengan sebuah kekerasan apa yang menjadi tujuannya, baik itu untuk tujuan perorangan, kelompok dan sebagainya.
“Tentunya masyarakat punya peran penting untuk mewujudkan bela negara dalam menangkal radikalisme. Bela negara di era sekarang adalah kemampuan semua bangsa Indonesia dengan segala macam profesinya untuk menjaga Indonesia agar aman dan sejahtera. Hal itu bisa terjadi kalau kita bekerja sesuai dengan profesi kita masing-masing dengan baik,” jelas pria yang dalam karir militernya dibesarkan di pasukan ‘Baret Merah’ Kopassus TNI-AD ini.
Dikatakannya, kalau tokoh masyarakat atau tokoh agama tidak punya kepedulian dan pemahaman bela negara terhadap situasi lingkungan sekitarnya tentu akan susah. Karena hal tersebut menjadi sebuah pemahaman bersama bahwa ituadalah tugas semua masyarakat Indonesia.
“Kalau kita bisa melakukan itu semua dengan baik maka kita bisa mengeliminir radikalisme negatif itu tadi seperti kekerasan yang saya katakan tadi dimana mereka muncul dalam skala paling kecil dan paling besar sampai kepada masalah radikalisme yang berujung pada aksi terorisme,” kata pria yang pada hari Kamis (19/12//2019) ini resmi ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Aneka Tambang (Antam) Tbk ini
Menurutnya, kalau totalitas kemampuan masyarakat dalam mewujudkan bela negara itu bisa berhasil dengan sebaik-baiknya pada bidang kehidupannya masing-masing, maka akan tercipta sebuah lingkungan masyarakat yang pahan dan mampu menghadapi radikalisme negatif tadi,
“Sebenarnya orang yang mempunya paham radikalsime negarif itu hanya beberapa gelintir orang saja. Tetapi jika beberapa gelintir itu bisa kita ajak untuk menjadi damai, saya kira kondisi itu akan menjadi kondisi yang kondusif. Begitu sudah kondusif, maka dia menjadi sebuah daya tangkal yang baik bagi bagi infiltrasi radikalisme negatif tadi,” kata mantan Danrem 152/Babullah, Kodam XVI/Pattimura ini
Dikatakannya, selama ini masyarakat seolah-olah cuek dan tidak peduli untuk melakukan upaya bela negara karena kurang sekali mendapatkan panutan atau mendapatkan contoh-contoh yang baik. Kemudian di sisi lain perkembangan teknologi, budaya yang masuk ke negara kita begitu masif. Yang mana mereka masuk ke semua lini kehidupan melalui dunia maya yang tidak bisa di filter.
“Itu salah satu kendalanya, bagaimana peranan perkembangan teknologi itu yang tidak bisa kita filter dengan baik. Seorang anak yang belajar dengan menggunakan dunia maya tidak didampingi dengan orang tua yang baik. Dari situlah mulai ada kelompok-kelompok anak muda yang aneh dan berpikiran radikal negatif. Kalau tu tidak kita sadarkan, tentunya dia akan bisa menambah kekuatan dan kalau dibiarkan bisa menjadi ancaman besar terhadap bangsa ini,” ujar mantan Komandan Grup 3/Sandi Yudha Kopassus ini
Untuk itulah saat dirinya dulu menjabat sebagai Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dirinya telah mencanangkan program dibentuknya Duta Damai di Dunia Maya.
Dan menurutnya Duta Damai di Dunia Maya inijuga bisa dikatakan sebagai bela negara dari pengaruh penyebaran paham radikal terorisme melalui dunia maya.
“Saya membuat dan mewujudkan sebuah program Duta Damai di Dunia Maya karena pada saat itu dunia maya ini dipenuhi dengan “hutan belantara hitam” yang tidak jelas isinya. Konten seperti mau buat bom mau memusihi orang tua ada. Bagaimana cara membunuh pun juga ada. Dan itu tentunya sangat berbahaya sekali kalau dibiarkan,” ujar bapak dua anak ini.
Oleh karena itu menurutnya, Duta Damai di Dunia Maya ini ditujukan bagaimana untuk membuat kontra narasi terhadap narasi-narasi negatif dan kekerasan yang beredar di dunia maya. Yang mana generasi muda sekolah mulai SMP, SMA, mahasiswa menjadi targetnya untuk melakukan bela negara melalui dunua maya.
“Karena mereka ini merupakan kader-kader penerus dalam membangun bangsa kita agar bisa lebih maju kedepannya. Kita ajak mereka semuanya yang suka bermain gadged, yang terhubung dengan internet ini bisa berkontribusi untuk memberikan pandangan yang positif. Kalau kita tidak menciptakan kontra narasi yang positif pikiran masyarakat itu akan terisi hal-hal negatif terus,” ujar mantan Komandan Pusdik Intel Kodiklat Angkatan Darat ini
Untuk itu dalam melakukan bela negara ini dirinya meminta kepada seluruh masyarakat untuk bisa mewujudkan negara Indonesia yang damai, aman, nyaman dan sejahtera melalui dunia maya. Hal ini tentunya bisa menjadi kekuatan moral atau program narasi yang sangat kuat yang bisa dilakukan BNPT dalam rangka mewujudkan dunia maya yang damai.
“Apalagi BNPT punya stakeholder, dimana BNPT punya peran untuk mensinergikan semua kekuatan kementerian mengenai bagaimana cara memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui program-programnya dan itu sangat strategis. Dan itu harus terus dilanjutkan dan mungkin perlu dimodifikasi dengan situasi di zaman sekarang,” katanya mengakhiri.