TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama Pulau Sebaru Kecil, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mendadak ramai diperbincangkan.
Nama Pulau Sebaru Kecil mencuat lantaran dijadikan tempat observasi sebanyak 188 Warga Negara Indonesia (WNI) Anak Buah Kapal (ABK) dari Kapal World Dream, Hong Kong terkait dengan dugaan virus corona.
Namun, Pulau Sebaru Kecil sendiri banyak orang yang tidak mengetahui.
Berbeda dengan Dayat (52), warga Pulau Harapan, Kepulauan Seribu.
Ia mengenalnya karena pernah bertugas di Pulau Sebaru Kecil pada tahun 2000-an lalu.
"Dulu saya pernah jadi penjaga Pulau Sebaru Kecil. Tugasnya serabutan. Ya bersih-bersih, benerin kalau ada yang rusak. Intinya jagain pulau itu," kata Dayat saat ditemui, di Pulau Lipan, Jumat (28/2/2020).
Dayat bertugas bersama empat rekannya. Sama-sama berasal dari Pulau Harapan.
Setiap hari mereka dijemput oleh kapal dari Pulau Harapan menuju Pulau Sebaru Kecil.
"Dulu gajinya Rp 70.000 per hari. Kerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Langsung balik lagi ke rumah," kata pria kelahiran Bangka Belitung tersebut.
Baca: Banjir Selasa Kemarin, Pusat Bisnis Jakarta Merugi Rp56 Miliar
Baca: Pelaku yang Tabrak Wanita Hamil Hingga Tewas Sering Melamun dan Ketakutan, Ini Pengakuannya
Pulau itu merupakan tempat rehabilitasi narkoba.
Saat itu menurut Dayat hanya ada 10 orang yang direhabilitasi.
"Saya yang setiap hari bersihkan ruangan-ruangan di pulau itu. Menyapu, mengepel, rapikan ruangan," katanya.
Menurut Dayat, pulau itu dimiliki salah satu pengusaha. Namun, pemilik itu jarang ke pulaunya tersebut.
"Dia juga yang punya pulau resort di Pulau Pantara Timur," jelasnya.
Dayat mengaku hanya bekerja selama satu tahun. Lantaran jaraknya yang terlalu jauh.
Ia pun kini memilih bekerja kembali sebagai nelayan.
Baca: VIRAL Kakek 103 Tahun Nikahi Gadis Selisih 76 Tahun, Mahar Rp 5 Juta hingga Dijodohkan Keluarga
Baca: Soroti Revitalisasi Monas, Ferdinand Emosi & Salahkan Anies, Geisz Chalifah Sampai Ucap Kalimat Ini
"Memang dasarnya saya nelayan. Jadi sekarang balik lagi jadi nelayan. Cari ikan bareng anak saya," kata bapak empat anak ini.
Menjadi nelayan, Dayat sehari-hari mendapatkan hasil dari tangkapan ikannya kurang lebih Rp 300.000 per hari.
Jumlah itu belum dipotong untuk biaya bahan bakar kapal Rp 120.000.
"Enaknya hidup di pulau itu guyub dengan para tetangga. Kalau lagi ada yang kesusahan pasti ada yang bantu. Beda kalau di kota, mikirnya sendiri-sendiri," katanya.
Apalagi, lanjut Dayat, untuk hidup di pulau tidak terlalu berat untuk memikirkan soal makan.
Pasalnya, banyak ikan yang bisa dijadikan lauk tanpa harus membelinya.
"Kalau di pulau cukup punya nasi. Ikannya kita cari di laut, nggak perlu beli," katanya.
Namun, kini ia mengaku tubuhnya tak sekuat saat muda yang tahan segala cuaca, kuat diterpa panas dan angin laut.
Dayat pernah mencoba peruntungan untuk bekerja sebagai penjaga kapal.
"Pernah setahun lalu kerja di Pantai Mutiara (Penjaringan, Jakarta Utara) jadi penjaga kapal. Tugasnya menyiapkan kapal-kapal majikan saya kalau mau dipakai. Juga merawat kapal-kapalnya," kata Dayat.
Ia mengaku digaji Rp 5 juta. Jumlah yang cukup besar baginya.
Ia pulang pergi ke rumahnya seminggu sekali. Tapi kembali ia tinggalkan pekerjaan itu.
Kini ia memilih kembali tinggal bersama keluarganya di pulau.
"Lebih baik hidup sederhana tapi masih bisa ketemu keluarga tiap hari di pulau," katanya. (tribun network/denis/M Yusuf)