TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin, Terdakwa kasus pembunuhan ayah dan anak di Lebak Bulus divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/6/2020).
Hakim menyatakan perbuatan keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Edi Chandra atau Pupung Sadili (54) dan putranya, Muhammad Adi Pradana atau Dana (23).
Baca: Viral Curhatan Wanita yang Fisiknya Dihina Saudara Sendiri, Si Penghina Justru Tak Merasa Bersalah
"Menjatuhkan Terdakwa atas nama Aulia Kesuma dan Terdakwa dua atas nama Geovanni Kelvin masing-masing dengan pidana mati," kata Majelis Hakim membacakan putusannya.
Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim tersebut sesuai dengan tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya.
Putusan ini sontak membuat tim penasihat hukum para Terdakwa terkejut.
Sementara, JPU mengapresiasi putusan Majelis Hakim.
Berikut rangkuman Tribunnews.com terkait perjalanan kasus pembunuhan berencana yang berujung vonis mati dari TribunJakarta.com dan Kompas.com:
Diawali Sakit Hati Terdakwa
Pada Agustus 2019, Aulia Kesuma memulai perencanaan pembunuhan terhadap suaminya itu.
Waktu itu motifnya karena dia sakit hati terhadap suaminya.
Aulia Kesuma mengklaim dirinya harus banting tulang seorang diri dalam menopang ekonomi keluarganya.
Menurut Aulia, Edi tidak memiliki pekerjaan sejak mereka menikah tahun 2011.
Mereka juga sering bertengkar karena hal-hal sepele.
Salah satu sumber percekcokan adalah soal pergaulan anak tirinya, Dana.
Masalah selanjutnya muncul ketika Aulia memutuskan untuk meminjam uang senilai Rp 10 miliar ke bank pada tahun 2013.
Uang tersebut digunakan untuk membuka usaha restoran.
Dari pinjaman itu, Aulia harus mencicil uang senilai Rp 200 juta setiap bulan.
Ia sempat merasa stres dan memiliki niat untuk bunuh diri karena merasa berat membayar cicilan tersebut.
Namun, Edi kembali lepas tangan dalam menanggung cicilan tersebut.
Aulia berharap rumah Edi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dijual untuk melunasi utangnya.
Namun, usulan itu tidak diizinkan Edi.
Aulia dibantu anak kandungnya, Kelvin, dan para pembunuh bayaran.
Singkat cerita, Edi dan Dana dibunuh dengan cara diracun menggunakan 30 butir obat tidur di rumahnya.
Dua jenazah korban itu langsung dibawa ke Sukabumi untuk dibakar di dalam mobil.
Sempat Membantah di Persidangan
Aulia Kesuma sempat membantah bahwa ide untuk menghabisi nyawa suaminya berasal darinya.
Bantahan itu disampaikan saat mengajukan keberatan setelah saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum memberikan keterangan pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (24/2/2020).
"Caranya (membunuh Pupung) memang seperti itu. Tapi idenya bukan dari saya," kata Aulia.
Namun, wanita berusia 45 tahun itu tidak menjelaskan siapa yang pertama kali mencetuskan ide untuk membunuh Pupung.
Pernyataan Aulia Kesuma sempat didukung saksi bernama Sigit.
Sigit menceritakan momen di mana Aulia meminta kepada mantan pembantu infalnya bernama Karsini alias Tini untuk dicarikan seorang dukun.
Sigit mengatakan, mulanya Aulia tidak berniat membunuh Pupung lewat jasa dukun tersebut.
"Awalnya cari dukun cuma buat mengubah pikiran korban buat jual rumah," kata Sigit di muka sidang.
Sebelum meminta mencarikan dukun, Aulia sempat menceritakan tentang utang-utangnya yang berjumlah miliaran Rupiah kepada Tini.
Aulia pun meminta Pupung untuk menjual rumahnya guna melunasi utang tersebut. Namun, Pupung menolak permintaan itu.
Lantaran Pupung tak kunjung berubah pikiran, Aulia akhirnya meminta dukun tersebut untuk menyantet suaminya.
"Karena lama nggak berubah pikiran, akhirnya (Aulia) minta agar korban disantet," ujar Sigit.
Sigit menjelaskan, semua pernyataannya di muka sidang mengacu pada pengakuan Aulia saat diinterogasi penyidik Polda Metro Jaya.
Peran Dua Terdakwa Eksekutor
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi pada sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana dengan terdakwa Kusmawanto alias Agus dan Muhammad Nursahid alias Sugeng.
Agus dan Sugeng diketahui sebagai dua eksekutor yang disewa Aulia Kesuma.
Dalam persidangan, saksi bernama Sigit mengungkapkan rentetan peristiwa pembunuhan terhadap Edi Candra Purnama alias Pupung Sadili dan M Adi Pradana alias Dana.
Salah satunya ketika jenazah Pupung dan Dana hendak dibakar di rumahnya di kawasan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan.
Namun, saksi menyebut Agus dan Sugeng tidak jadi membakar jasad korban.
"Kenapa tidak jadi dibakar?" tanya kuasa hukum kedua terdakwa.
"Bilangnya karena kasihan," ujar saksi Sigit.
Namun, keduanya membantah keterangan saksi penyidik Polda Metro Jaya yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2020).
Keduanya mengaku bukan sebagai eksekutor yang menghabisi nyawa Edi Candra Purnama alias Pupung Sadili.
"Saya tidak menginjak-injak, tidak mencekik, hanya membalikkan badan (Pupung) yang sudah almarhum," kata Agus saat ditanya Majelis Hakim.
Hal senada diutarakan Agus.
Ia merasa tidak pernah membunuh Pupung.
"Saya cuma pegang tangannya," tutur Agus.
Saat dihadirkan sebagai saksi, penyidik Polda Metro Jaya bernama Sigit mengatakan Agus dan Sugeng terlibat dalam pembunuhan Pupung.
"Mereka (terdakwa) yang mengatakan korban diinjak dan dicekik," ujar Sigit.
Jaksa mendakwa Kusmawanto alias Agus dan Muhammad Nursahid alias Sugeng telah melakukan pembunuhan berencana.
"Akibat perbuatan terdakwa Kusmawanto alias Agus dan Muhammad Nursahid alias Sugeng bersama-sama dengan saksi Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin, korban Edi Candra Purnama meninggal dunia," kata Jaksa Sigit Hendradi saat membacakan dakwaannya, Kamis (6/2/2020).
Sigit menambahkan, Agus dan Sugeng dijerat Pasal 340 jo 55 ayat 1 ke-1 subsider Pasal 338.
"Ancamannya seperti yang dikatakan Majelis Hakim, paling tinggi hukuman mati," ujar dia.
Reaksi Aulia Kesuma dan Anaknya Dengar Vonis Hakim
Saat putusan dibacakan bergantian oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Aulia yang mengenakan jilbab biru, di layar protektor tampak serius mendengarkan.
Sidang digelar secara teleconference melalui layar protektor.
Aulia merupakan istri muda Pupung dan ibu tiri Dana
Motif pembunuhan terhadap Pupung dan Dana, diketahui bahwa Aulia ingin menguasai rumah korban.
Sebab Aulia terjerat utang di dua bank hingga Rp 10 Miliar.
Saat putusan dibacakan bergantian oleh majelis hakim, Aulia yang mengenakan jilbab biru, di layar protektor tampak serius mendengarkan.
Begitu juga dengan Geovanni, yang kadang di layar protektor hanya bagian atas kepalanya saja yang ditampakkan.
Aulia dan Geovanni tampak berada di tempat terpisah di layar protektor.
Ketika Ketua Majelis Hakim Yosdi menyatakan bahwa hukuman terhadap keduanya adalah pidana mati, ekspresi wajah Aulia makin lesu dan pasrah.
Ia kemudian mengangkat kedua telapak tangannya dan diusapkan atau ditutupkan ke wajahnya beberapa saat.
Pandangannya semakin kosong.
Satu tangannya kemudian diletakkan di dahinya beberapa saat.
Entah apakah itu tanda ia pasrah atau mencoba berpikir mencari upaya agar lolos dari hukuman mati.
Sementara itu Geovanni, tampak lebih sering menyembunyikan wajahnya di layar protektor selama sidang berlangsung.
Begitu juga sewaktu majelis hakim menjatuhkan vonis mati terhadap dirinya.
Ia semakin menundukkan kepalanya sehingga hanya rambut dan dahinya saja yang tampak di layar protektor.
Reaksi Pengacara: Vonis Terlalu Sadis
Kuasa Hukum Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin, Firman Candra mengatakan vonis hukuman mati atas kliennya dinilai terlalu sadis.
Di tengah seluruh dunia yang menghapus hukuman mati, vonis terhadap kliennya dinilai bertentangan dengan HAM.
"Kami terus terang sebagai kuasa hukum melihat ini terlalu sadis. Pertama semua negara sudah menghapus yang namanya hukuman mati dan kasus apapun baik pembunuhan, baik tindak pidana korupsi ataupun kasus lain," kata Firman saat ditemui usai sidang putusan kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (15/6/2020).
Ia menuturkan vonis hukuman mati bertentangan dengan deklarasi universal terkait hak asasi manusia (HAM). Vonis tersebut dinilai akan bertentangan dengan deklarasi tersebut.
"Karena semua negara menghapus hukuman mati. Kenapa Indonesia masih bersikeras ada hukuman mati? di deklarasi universal hak asasi manusia semua sudah hampir semua dihapuskan. itu yang akan kita perjuangkan," jelasnya.
"Kita akan menyurati ke presiden, komisi III bahwa tolong hukuman mati itu harus segera dihapuskan karena sudah melanggar deklarasi universal hak asasi manusia," lanjutnya.
Di sisi lain, ia menuturkan sejumlah permintaan yang diminta kliennya untuk menghadirkan saksi yang meringankan kerap ditolak selama persidangan. Padahal, saksi tersebut bisa jadi pertimbangan majelis hakim.
"Jadi ada unsur ketidakadilan kenapa request kami dari menghadirkan saksi meringankan. padahal kita sudah menyediakan dua saksi yang meringankan dan kenapa tidak diamini dan tidak disetujui oleh majelis hakim," jelasnya.
Tak hanya itu, hukuman mati dinilainya sadis karena kliennya Aulia Kesuma memiliki anak yang masih berusia 4 tahun bernama Reyna. Anak tersebut disebutkannya hasil buah hati dari suami yang telah dibunuh oleh Aulia.
Banding dan Minta Grasi ke Jokowi
Aulia Kesuma dan putranya, Geovanni Kelvin akan mengajukan banding terkait vonis hukuman mati yang diketok Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Keduanya memastikan vonis tersebut bukan titik akhir dari upaya proses hukum yang harus dilaluinya.
Demikian disampaikan Kuasa Hukum Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin, Firman Candra saat ditemui usai sidang putusan kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/6/2020).
"Kita akan melakukan upaya karena terus terang ini masih panjang. Kita sudah diskusi dengan terdakwa 1 dan terdakwa 2. Kita akan melakukan upaya hukum berikutnya di Indonesia yang telah disediakan," kata Firman.
Firman menuturkan kliennya akan melakukan berbagai upaya hukum tertinggi di Indonesia.
Baca: Ini Rincian Gaji Polisi di Indonesia, dari Pangkat Terendah hingga Jenderal
Bahkan apabila semuanya masih buntu, mereka akan meminta bantuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan grasi.
"Kami ingin naik banding, kasasi, PK dan terakhir kita akan minta grasi ke presiden Indonesia. Karena ini (hukuman mati, Red) sudah bertentangan dengan deklarasi universal tentang hak asasi manusia. Kami berharap hukuman mati bisa dihapuskan," katanya. (Tribunnews.com/Kompas.com/TribunJakarta.com)