TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem transportasi massal Jabodetabek yang belum sepenuhnya terintegrasi membuat warga harus bersiasat dengan pilihan angkutan yang efisien dari segi biaya dan waktu.
Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan, 5,7 juta dari total 26,4 juta perjalanan harian di Ibu Kota menggunakan transportasi publik.
Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) dalam penelitian Peran Transportasi Daring dalam Penggunaan Transportasi Massal: Gagasan Integrasi Antar Moda dalam Periode Adaptasi Kebiasaan Baru mencoba mengeksplorasi bagaimana pilihan-pilihan moda komuter Jabodetabek.
Sebanyak 48 persen komuter menggunakan layanan ride-hailing sebagai salah satu moda transportasi dalam perjalanan multi moda harian mereka.
Ride-hailing menjadi moda transportasi first-mile (mil pertama, artinya dari rumah ke titik transportasi publik) dan last-mile (mil terakhir, dari titik terakhir ke rumah).
Kemudahan dan kenyamanan ini telah mendorong semakin banyak anggota masyarakat memiliki transportasi publik.
Baca: Rayakan Kemerdekaan Indonesia, Jutaan Orang Ikuti Panjat Pinang Virtual di Aplikasi Grab
Penelitian yang dipimpin Associate Professor SBM ITB Yos Sunitiyoso ini mengeksplorasi pengalaman transportasi multimoda harian dan opini dari 5.064 komuter yang diadakan pada bulan Desember 2019 - Maret 2020.
Hasil penelitian tersebut dipaparkan dalam diskusi publik dengan Kementerian Perhubungan RI, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Dinas Perhubungan DKI Jakarta, TransJakarta pada akhir Juli lalu.
Diskusi ini juga mengundang Grab Indonesia sebagai penyedia ride-hailing, atau yang lebih populer disebut “transportasi online.”
Terhadap hasil penelitian itu, Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyatakan, ekosistem sebagai kata kunci dalam pengembangan transportasi publik ke depan sehingga diperlukan semua pihak komitmen untuk menciptakan ekosistem transportasi publik terintegrasi.
“Semua pihak harus terus berdialog terbuka. Pengambil kebijakan, operator transportasi publik, dan operator penyedia ride-hailing harus berkolaborasi menghadapi situasi adaptasi kebiasaan baru ini,” kata Heru menanggapi hasil penelitian ini, pada pekan terakhir Agustus ini.
Baca: Pesan Pangkogabwilhan II Terkait Kenaikan Jumlah Penumpang Transportasi Umum
Lebih jauh, Heru menjelaskan bahwa pembangunan ekosistem tersebut telah dapat difasilitasi oleh teknologi digital.
Inilah yang membuat peran ride-hailing semakin penting dalam ekosistem transportasi publik.
Heru melihat besarnya kontribusi Grab dalam pembangunan ekosistem transportasi publik terintegrasi di DKI Jakarta. Beberapa contoh yang diambil Heru meliputi Grab Pick Up Point, GrabShelter, dan GrabProtect.
"Itu semua merupakan solusi yang relevan dalam periode adaptasi kebiasaan baru di DKI Jakarta," katanya
Agung Wicaksono dari Center for Policy and Public Management SBM ITB menyatakan, penelitian tim SBM ITB terlihat nyata bahwa transportasi publik bukanlah soal kompetisi, melainkan soal kolaborasi.
"Kolaborasi yang bukan hanya mengedepankan aspek bisnis, namun juga pelayanan kepada masyarakat karena kebijakan transportasi memiliki aspek sosial ekonomi,” kata Agung.
Artikel telah tayang di Kontan berjudul 73% Komuter Jabodetabek pengguna transportasi online memilih Grab