TRIBUNNEWS.COM - Sanksi masuk peti mati bagi warga Jakarta yang tidak memakai masker dinilai main-main.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan.
Tigor menyebut sanksi ini aneh dan sangat tidak tepat untuk penanganan penyebaran Covid-19.
Sanksi ini dinilai Tigor berbahaya bagi pelanggar penggunaan masker justru akan tertular Covid-19 saat dihukum masuk peti mati.
"Apakah petugas Pemprov Jakarta bisa memastikan si pelanggar yang dihukum tidak positif Covid-19?"
"Bentuk hukuman masuk ke peti mati bagi pelanggar penggunaan masker ini menandakan Pemprov Jakarta Gubernur Anies Baswedan tidak memahami pandemi Covid-19," ungkapnya kepada Tribunnews.com, Minggu (6/9/2020).
Baca: Sepekan Terakhir Positivity Rate Covid-19 di Jakarta 13 Persen
Tigor menyebut hukuman masuk peti mati menunjukkan Pemprov Jakarta tidak serius dalam memberikan sanksi kepada pelanggar PSBB Transisi.
"Pantas saja sekarang ini kasus positif Covid-19 di Jakarta tembus angka 1.000 orang per harinya dan Jakarta menjadi Zona Hitam pandemi Covid-19," ujarnya.
Tigor menjelaskan, secara hukum tidak ada regulasi yang memberi wewenang Pemprov Jakarta boleh memberikan sanksi masuk ke peti mati untuk menangani masa pendemi Covid-19.
Penerapan sanksi seperti itu dapat dikatakan liar dan ada maladministrasi karena tidak diatur oleh regulasi daerah Jakarta.
"Ada pelanggaran atau tindakan maladministrasi oleh Pemprov Jakarta karena menjalankan sebuah sebuah tindakan tanpa ada dasar hukum dan melebihi wewenangnya," ujar Tigor.
Baca: 8.142 Orang Indonesia Meninggal Akibat Covid-19 di Dalam dan Luar Negeri
Masih menurut Tigor, secara tegas dalam Pasal 1 Ayat (3) UU No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia diatur bahwa :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
"Jelas pemberian sanksi masuk ke dalam peti mati itu adalah perbuatan melanggar hukum dan melampaui wewenang yang dimiliki Pemprov Jakarta karena tidak ada regulasi yang mendasarinya," ungkap Tigor.
Tigor menyebut penerapan masuk peti mati dapat disimpulkan main-main dan terkesan Pemprov tidak tegas dalam menegakkan hukum guna mengendalikan penyebaran Covid-19 di Jakarta.
Seharusnya, menurut Tigor, penindakan pelanggar regulasinya jelas dasar hukumnya.
"Hukuman atau sanksi yang tidak tegas dan tidak ada dasar hukumnya itu tidak berakar dari pengaturan regulasi maka mencerminkan aparat Pemprov tidak jelas kerjanya dalam menangani pandemi Covid-19," ungkapnya.
Baca: Mau Daftar ke KPU, Calon Bupati Kutai Timur Positif Covid-19, Baru Pulang dari Jakarta
Pernyataan Satpol PP
Sementara itu, Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin menegaskan, masuk peti mati bukan sanksi resmi yang diberlakukan Pemprov DKI.
Dilansir Kompas.com, aturan sanksi bagi warga yang tak menggunakan masker tetap merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 79 tahun 2020.
Yaitu denda sebesar Rp 250 ribu atau sanksi kerja sosial.
"Itu bukan bagian dari pemberian sanksi. Tidak ada pemberian sanksi yang keluar dari aturan Pergub (79 tahun 2020)," kata Arifin, Jumat (4/9/2020).
Arifin menyebut para pelanggar dengan sukarela masuk ke dalam peti mati sembari menunggu giliran pemberian sanksi kerja sosial.
Arifin mengungkapkan, inisiasi para pelanggar yang masuk peti mati itu tidak akan menggugurkan pemberian sanksi.
"Itu yang bersangkutan menyodorkan diri untuk masuk peti sambil menunggu (sanksi kerja sosial). Jadi, itu tidak menggugurkan sanksi," ucap Arifin.
Diketahui Pemerintah Kota Jakarta Timur sebelumnya menerapkan sanksi masuk peti mati bagi warga yang tidak memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah.
Sanksi itu merupakan opsi yang diberikan kepada para pelanggar.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas.com/Rindi Nuris Velarosdela)